Skip to content

Trilogi Cerita Dari Pinggir Kampus (Bagian II)

    Peran dan Status yang Dirindukan (ditulis pada Bulan Desember 2013)

    Aku berjalan keluar dari kampus, setelah baru saja mengikuti kuliah yang selesai tepat saat waktu maghrib. Aku tak sendirian, karena ada dua orang temanku ikut berjalan beriringan. Yang satu bertubuh tinggi, mahasiswa perantauan dari Pekanbaru, juga “mantan” pemain basket. Sedangkan yang satu bertubuh biasa, berkacamata, dan sama juga sepertiku, anggota staf pengurus BEM FEB UGM yang akan merampungkan masa jabatan akhir tahun ini, dan tepatnya bulan ini. Kami bertiga berjalan ke arah kantin kampus tetangga yang letaknya tepat di tepi Jalan Sosio Humaniora.

    Kami melewati bawah gedung tinggi menjulang, yang menjadi “kebanggaan” dari Fakultas kami. Begitulah yang selalu didengungkan para birokrat pengelola fakultas. Secara sepintas aku berpikir bukankah dulu lebih baik membangun tempat parkir luas bagi mahasiswa, daripada membangun gedung yang tinggi menjulang itu. Dampak kekurangan parkir benar-benar tercipta bagi mahasiswa fakultas kami sekarang ini, di mana lahan parkir semakin dibatasi saat ini, sedangkan jumlah mahasiswa pengguna kendaraan bermotor semakin bertambah. Ah, hujan belum ingin berhenti rupanya,walau air yang turun tidak sederas tadi sore. Kami melangkah menyeberang jalan, memasuki kantin yang dimaksud. Suasana masih cukup ramai walau hanya dengan keremangan lampu. Seusai menghampiri sebuah kios penjual minuman, memesan kopi, kami bertiga duduk di kursi panjang, menikmati suasana.

    Temanku yang berkacamata membuka pembicaraan mengenai debat terbuka yang dilakukan oleh calon-calon ketua BEM FEB UGM untuk periode tahun depan, tepatnya 2014 nanti. Aku pun ikut menyimaknya, karena debat terbuka yang dilangsungkan tadi sore bersamaan dengan waktu kuliahku, sehingga aku tak sempat melihatnya. Namun toh di sisi lain aku sudah melihat debat calon ketua internal BEM sendiri tempo hari sebelumnya. Dia menceritakan bahwa menurutnya belum ada calon yang sesuai dengan keinginannya. Calon yang ada hanya sebatas memiliki keberanian untuk maju menjadi calon ketua, namun pemahaman dan esensi pengetahuan mereka dirasa masih kurang. Memang terdapat dua orang yang maju untuk  menjadi calon ketua BEM FEB UGM. Di FEB UGM itu sendiri, ketua BEM FEB UGM adalah jabatan politis kampus yang cukup prestisius, karena dianggap sebagai “presiden” mahasiswa dari fakultas.

    Sistem yang ada adalah penentuan ketua ini dipilih melalui pemilihan umum seluruh mahasiswa FEB, walau pada kenyataannya di tiap tahun tak sedikit pula yang melakukan apa yang kita sebut sebagai “Golput”. Diantara dua calon itu, yang satu berasal dari kalangan yang memiliki idealisme kuat beserta pemikiran kuat, sedangkan yang satu lagi adalah “aktivis”. “Aktivis” yang dimaksud adalah banyak organisasi yang ia ikuti, dan otomatis dia memiliki sikap bergaul yang baik. Bukan munafik, aku pun mengamini pendapat temanku yang berkacamata itu. Tetapi toh menurutku mau bagaimana lagi, karena tiap manusia pasti dianugerahi kelebihan beserta kekurangan. Begitupun dengan dua calon yang disebutkan tadi pastinya. Yang menjadi soal adalah apabila salah satu dari mereka menjadi ketua, mereka harus mampu menemukan figur yang tepat untuk melengkapi kekurangannya, sehingga dapat saling mengisi, pada selanjutnya mampu menjalankan peran di organisasi dengan baik. Toh kami sama-sama berpikir bahwa kami bukanlah ketua yang sedang menjabat di organisasi fakultas ataupun kepala departemennya. Kami hanya staf biasa di BEM FEB UGM yang “sejajar” dengan angkatan bawah kami sekarang yang juga sama-sama staf. Pendapat kami ini mungkin tidak ada artinya dengan pendapat orang-orang besar di organisasi sana.

    Dia pun teringat mengenai sistem pemilihan ketua di salah satu organisasi fakultas yang bergerak di bidang jurnalistik. Di organisasi itu, pemilihan ketua bukanlah melalu pemilihan raya mahasiswa, namun justru melalui musyawarah besar seluruh anggota organisasi. Dengan adanya sistem seperti itu, diharapkan terisinya jabatan penting di organisasi dengan sumber daya yang berkualitas. Aku mencoba menebak arah pembicaraan. Aku menekankan bahwa ketua BEM FEB UGM merupakan jabatan politis prestisius yang menjadi simbol aspirasi mahasiswa fakultas, karena itulah harus dipilih melalui pemilihan umum mahasiswa fakultas, bukannya musyawarah seperti demikian. Aku mengumpamakan apabila FEB UGM ini adalah suatu negara, maka ketua BEM adalah “pemimpinnya”, entah itu presiden atau justru raja.

    Jika pemilihan dilakukan melalui musyawarah sebagian kelompok saja, hal itu sama dengan sistem eksklusivitas kekuasaan. Anggap saja seperti beberapa negara tertutup di dunia ini, semisal Myanmar dengan dewan junta militernya yang menentukan siapa penguasa negara. Tetapi toh aku terbukti salah dengan maksud temanku. Lalu dia menjelaskan idenya, yang mengatakan bahwa mengapa untuk menentukan calon-calon yang dimaksud untuk maju ke pemilihan raya tidak ditentukan dahulu oleh suatu musyawarah besar di dalam internal organisasi sendiri? Barulah apabila calon-calon yang diusulkan (atau mengusulkan diri) diterima oleh anggota musyawarah, maka dia berhak mencalonkan diri secara umum, agar tercipta kualitas calon ketua yang benar-benar maksimal. Di samping itu, dengan adanya musyawarah besar, para anggota pengurus senior memiliki kontribusi dalam menyampaikan pendapat, sehingga penilaian tak hanya bersumber dari satu atau dua pihak. Tanpa basa-basi, aku langsung mengiyakan dan menganggukan kepala mengenai omongan temanku itu. Memang benar, kenapa tidak dari dulu ada sistem semacam ini diadakan.

    Dengan sistem ini, ketua yang terpilih dapat benar-benar sudah terseleksi, baik secara kualitas kerja maupun popularitas. Untuk hal yang terakhir, lebih dipengaruhi saat kampanye. Sistem yang berjalan saat ini hanya mnciptakan anggapan bahwa untuk menjadi ketua BEM FEB UGM harus bermodalkan popularitas dan kampanye. Padahal, antara kualitas kerja dan popularitas tentu terkadang sering tak sejalan pada diri tiap orang. Maka dari itu, di masa kampanye, para calon saling memperkenalkan diri, walau terkadang dipandang secara berlebihan.

    Kami bertiga pun sekali lagi terhanyut dalam suasana keremangan di kantin saat hujan, dengan secangkir kopi tentunya. Benar-benar terkadang langka kesempatan semacam ini.  Temanku yang berasal dari Pekanbaru pun mulai berbicara mengenai topik sehari-hari perkuliahan, entah itu tugas maupun kehidupan di kost. Aku pun menyimak dan mendengarkannya dengan baik, begitupun temanku satu si kacamata. Entah mengapa pembicaraan kembali mengalir ke acara Gadjah Mada Econolympics yang diadakan bulan lalu, mengingat banyak cerita seputar kepanitiaan itu. Kebetulan kami sama-sama panitia di acara ini, namun tidak untuk temanku si kacamata.

    Kami berbicara mengenai beberapa konflik yang terjadi, mulai dari dalam internal panitia, hingga kekacauan para supporter pertandingan futsal yang notabene dari para siswa salah satu SMA di Jogja. Temanku mengatakan bahwa menjadi panitia GME adalah hal yang cukup berat. Mungkin ini ada faktor bahwa dia putus hubungan dengan kekasihnya pada saat acara ini. Aku tak menampik omongannya, karena aku pun setuju dengannya. Toh sebagai mahasiswa kami harus pintar dalam membagi waktu, utamanya untuk kuliah, dan hal yang lainnya. Sedangkan pada acara GME, kami harus bekerja selama 13 hari non stop, dari waktu pagi hingga waktu siang.

    Ah, tetapi sudahlah. Aku teringat kembali dengan acara Ekonomi Bebas Korupsi 2012 yang sudah pernah kusebutkan dalam edisi sebelumnya. Aku menjelaskan bagaimana EBK adalah sebuah kesalahan sistem dengan maksud beserta tujuan acara yang baik sebenarnya. Kujelaskan bersama temanku si kacamata kepada temanku dari Pekanbaru. Kebetulan si kacamata ini juga menjadi panitia EBK 2012, yang notabene dia juga anggota pengurus BEM. Di edisi sebelumnya, sudah pernah kujelaskan betapa buruknya kinerja internal panitia saat itu, karena tidak adanya senioritas dalam tubuh panitia. Untuk melengkapinya, aku ingin menambahkan rekomendasi-rekomendasi untuk acara yang satu ini, agar berjalan sesuai target dan tidak terlalu menyebabkan konflik di tubuh kepanitiaan. Oh, di sisi lain, dari tahun ke tahun, acara EBK ini sesungguhnya menjadi semacam “ajang” bagi para “pejabatnya” untuk “mempromosikan” diri mereka sebagai bakal calon ketua organisasi-organisasi di kampus. Hal ini dapat disimak pada tahun 2013 ini, hampir semua ketua di tiap organisasi Fakultas Events dan Bisnis pernah mengikuti kepanitiaan acara EBK.

    Di dalam hati, aku ingin acara EBK ini dibuat seperti sistem kepanitiaan GME. Pertama, bahwa selama ini, acara EBK dikonsep oleh mereka yang angkatan senior di organisasi, dengan jabatan sebagai SC (Steering Comitee). Sedangkan angkatan di bawahnya menjalankan kepanitiaan acara tersebut sebagai OC (Operational Comitee). Para OC ini terdiri dari satu angkatan, dimana dalam proses eksekusi acara pasti akan timbul berbagai konflik karena tidak adanya senioritas dalam tubuh angkatan. Senioritas hanya sampai pada tingkat antara SC dengan para pengurus harian (terdiri dari ketua, bendahara, sekretaris, dsb). Alangkah baiknya apabila meniru sistem yang ada di GME, bahwa SC, PH, beserta para koordinator adalah para angkatan senior. Sedangkan para staf pelaksananya adalah angkatan di bawahnya. Dengan ini, diharapkan konflik yang ada dapat berkurang karena adanya senioritas, mengingat EBK adalah acara besar yang berupa rangkaian banyak acara.

    Untuk persoalan SC, tentu akan lebih bijak mengambil SDM dari departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM, karena dari departemen inilah acara EBK secara khusus lahir. Sedangkan untuk perekrutan para pengurus harian, dapat diserahkan kepada SC dan tidak harus merupakan anggota pengurus BEM FEB UGM. Hal ini tentu dapat merangkul peran serta para organisasi lain fakultas di luar BEM, karena selama ini EBK dipandang sebagai suatu acara yang merupakan “eksklusivitas” BEM itu sendiri, yang merupakan organisasi pergerakan. Yang selama ini terjadi adalah penunjukan ketua (OC) EBK itu sendiri selalu berasal dari departemen kajian strategis, dan terkesan tertutup untuk anak-anak dari organisasi lain. Hal inilah yang membedakan dari struktur kepanitiaan GME.

    Kedua, aku ingin menjelaskan mengenai bahwa tidak semua anggota pengurus BEM harus menjadi panitia dalam acara EBK. Ini sebenarnya merupakan pendapat seorang teman, mantan salah seorang diantara tiga ketua EBK 2012, namun sekarang dia sudah jarang terlihat dalam kehidupan kampus. Sistem yang ada selama ini adalah bahwa semua anggota pengurus BEM harus direkrut menjadi panitia pada tahun yang bersangkutan. Mungkin memang pertimbangan yang ada adalah bahwa BEM FEB UGM ini merupakan organisasi pergerakan, sehingga semua anak pengurus harus wajib menjadi panitia dalam satu angkatan. Namun apabila menengok acara GME, kita tentu tak dapat menyangkal bahwa GME ini sesungguhnya merupakan acara “milik” departemen HPM di BEM FEB UGM. Namun pembentukan struktur kepanitiannya sama sekali berbeda. Memang, antara GME dan EBK merupakan dua jenis acara yang berbeda. Yang satu bersifat sportivitas dan keolahragaan, sedangkan yang satu bersifat pergerakan untuk kehidupan yang lebih baik. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni bersifat eksternal, terhitung acara besar, sehingga tentu membutuhkan perhatian khusus pula. Sekarang, tentu tidak semua anak pengurus BEM wajib menjadi panitia dalam acara GME.

    Untuk mengatasi kekurangan panitia, para pengonsep acara GME lebih memilih untuk melakukan sistem open recruitment. Hasilnya tentu terlihat berbeda. Orang-orang panitia hasil open recruitment memiliki kecenderungan besarnya rasa kepemilikan acara yang lebih besar dibandingkan dengan panitia hasil close recruitment, yang nyata-nyata bermotivasi untuk “menolong” teman yang memintanya menjadi panitia. Begitupun juga EBK, tak semua anak pengurus BEM memiliki passion di EBK. Begitupun pula di GME. Bahkan pada contoh EBK tahun 2012, terdapat seorang anak pengurus yang sudah terkenal mampu bekerja baik di bidang acara “dibuang”, atau bahkan dipaksakan menjadi anggota panitia dana usaha. Tidak salah kalau aku menyebut hal ini sebagai sesuatu yang “dipaksakan”. Ibarat hubungan percintaan, bahwa segala sesuatu yang dipaksakan tentu tak akan berakibat baik.

    Ketiga, mungkin aku perlu menekankan bahwa keefektivan beserta pencapaian tujuan dari penyelenggaraan acara EBK ini perlu dikaji ulang. Mereka mendengung-dengungkan gerakan anti “titip absen”, tetapi toh pada kenyataannya kegiatan seperti itu masih tetap berjalan secara mulus. Mungkin juga konsep acara perlu dirubah atau bagaimana caranya agar pencapaiannya sesuai dengan visi misi acara itu sendiri. Aku pun teringat akan kuliah Manajemen Stratejik beberapa waktu yang lalu. Sang dosen cukup memiliki popularitas di kalangan mahasiswa, karena beliau adalah dosen muda yang enerjik, disamping penulis novel dan terlibat dalam pembuatan film bertema keagamaan yang baru-baru ini diputar di bioskop. Sang dosen menerangkan di kelas, bahwa banyak kasus kegagalan strategi, justru disebabkan oleh buruknya implementasi yang dilakukan.

    Yang salah kaprah di negeri ini adalah banyak para perancang strategi selalu membuat perencanaan strategi yang begitu banyak, namun ujung-ujungnya daftar strategi-strategi itu hanya menjadi pengisi lemari gudang. Beliau menambahkan bahwa strategi itu seharusnya simpel, dan energi organisasi harus banyak dikeluarkan pada saat eksekusi strategi, bukan perencanannya. Kalau hal ini terjadi, maka perencanaan strategi dapat dikatakan gagal, disamping pada level karyawan beserta pelaksana akan kehilangan esensi maksud beserta tujuan diadakannya suatu perencanaan strategi tersebut. Tentunya hal semacam ini sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.

    Dari ceritaku, temanku yang berasal dari Pekanbaru itu mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Begitupun dengan temanku si kacamata, menambahkan kembali bahwa EBK adalah ajang untuk menapak menjad bakal calon ketua BEM FEB UGM. Ah, aku teringat pula dengan para calon-calon ketua untuk kepengurusan tahun 2014 nanti. Mestinya calon-calon yang ada harus mampu menjalankan implementasinya dengan baik. Itu sebabnya, tidak perlulah yang namanya mengumbar janji terlalu banyak, yang terpenting adalah fokus untuk menjalankan strategi berdasarkan visi misi, disamping implementasi acara tentu harus sinergis dengan visi misi beserta perencanaan yang ada. Memang, bukanlah hal yang aneh kalau banyak perencanaan tak sejalan dengan kenyataan, namun dikatakan salah kalau tak ada usaha untuk meminimalisir kesenjangan diantara keduanya. Sebagai orang yang selama ini lebih banyak terlibat dalam hal operasional pelaksanaan, aku sungguh lebih menilai seseorang dari usaha yang dilakukan, bukan dari hasil yang dicapai.

    Temanku si kacamata kembali membuka pembicaraan setelah menenggak kembali kopinya yang hampir habis itu. Dia berharap bahwa kelak ketua yang terpilih tidak “salah” pilih akan bawahan-bawahan sebagai kepala departemen. Memang, aku bisa merasakan apa yang dia rasakan dalam hati. Aku masih ingat saat setahun yang lalu, dimana ketua baru membentuk rezim baru, memilih kepala-kepala departemen atau biro sebagai “menteri” dari sang “presiden”.

    Kita berdua sama-sama tahu, bahwa pemilihan kepala departemen beserta wakilnya merupakan hak prerogratif sang “presiden”. Begitu pula para wakil ketua BEM FEB UGM, yang dalam hal ini disebut sebagai ketua I dan ketua II. Aku mengerti, bahwa kelak pasti akan ada semacam subyektivitas bagi ketua yang akan terpilih, karena lumrah bagi seseorang apabila dia menjadi kepala di suatu organisasi baik besar ataupun kecil. Namun tentunya harus terdapat usaha untuk meminimalisir subyektivitas yang ada. Bisa saja kelak nanti apabila “salah” memilih bawahan, yang terjadi justru sang bawahan akan menyepelekan dia dan justru tidak bertanggung jawab atas tugasnya. Semisal hal paling gampang adalah frekuensi mengikuti rapat yang jarang diikuti oleh beberapa bawahan misalnya. Akibatnya berimbas pada koordinasi ke bawahnya lagi. Bawahan yang dimaksud pada konteks ini tentu kepala departemen. Apabila seorang kepala departemen terhitung jarang berkoordinasi dan hanya “ingin” mengincar sertifikat dan nama belaka. Jarang datang dalam rapat, tetapi sekalinya ikut rapat dia seolah “tampil” sebagai penengah solusi, bahkan tak jarang memaksakan pendapatnya.

    Apakah itu cukup sebagai kelakuan seorang kepala departemen? Di samping itu, tentu sang “presiden” harus mempertimbangkan aspek pengalaman kerja beserta kinerja, tidak asal hanya karena sang teman memiliki sifat penurut.  Tak kalah penting adalah saran beserta rekomendasi dari para senior, karena peran senior disini adalah sebagai pemberi saran yang cukup “netral”, tak memiliki kepentingan lain. Kurang etis rasanya apabila mengangkat para “menteri” tanpa mempertimbangkan pendapat dari para senior. Jikalau yang terjadi adalah pemilihan kepala departemen hanya berdasarkan subjektivitas, tentu hal ini seperti pedang bermata dua. Di sisi lain, dia akan lebih menghargai pendapat sang ketua. Namun di sisi lain, tentu bukan tidak mungkin suatu saat sang kepala departemen justru menyepelekan sang ketua, karena status teman sendiri. Akan runyam lagi jadinya kalau memilih kepala departemen yang benar-benar tidak berkompeten.

    Sudahlah dari dulu kinerja kerjanya dapat dikatakan rendah, tetapi diangkat sebagai kepala departemen. Kalau sudah begini, jika suatu saat terjadi kegagalan atau kekacauan, sudah bukan salah kepala departemen yang dimaksud, namun salah sang ketua itu sendiri. Salah mengapa percaya kepada orang yang dari dulu tidak bisa dipercayai oleh banyak orang. Hal ini akan sangat memberatkan hati kepada para senior yang tidak menjadi kepala departemen, hanya menjadi staf biasa. Itu berarti “sejajar” dengan para adik angkatannya.

    Panjang lebar aku dan temanku si kacamata saling bercurah hati, karena kami sama-sama tidak menjadi kepala departemen atau wakil kepala departemen. Jabatan kami berdua lebih seperti jabatan kosong yang sejajar dengan para adik angkatan. Walaupun dahulu aku mengatakan bahwa aku “tak apa-apa” apabila tak terpilih menjadi kepala atau wakil kepala departemen, namun sesungguhnya jauh di dalam hati aku merasa kecewa tidak naik pangkat. Sebagai senior yang “sejajar” dengan adik angkatan, tentu membuat kami seperti tak jelas dalam penugasan acara. Inisiatif dan semagat yang dulu seolah hilang, dan selama setahun terakhir ini, aku hanya bergerak apabila ada perintah. Aku sudah kehilangan inisiatif di organisasi selama setahun ini. Aku terkadang menyesal mengapa tak mengikuti jejak kawan akrabku dulu di satu biro, yang keluar dari BEM setelah tidak naik pangkat. Biro dengan program kerja yang sedikit namun jumlah anggota terlalu banyak tentu akan menimbulkan semacam “ketidakjelasan” pekerjaan. Terlebih apabila pengontrolan pada tingkat departemen sangat lemah. Kalau sudah begini, hanya hati yang bermain. Mungkin temanku si kacamata ini berkarya di departemen yang memiliki banyak program, sehingga dia memiliki pekerjaan yang jelas. Sedangkan pada biro, pekerjaan yang ada hanyalah mendukung untuk kepentingan internal organisasi, sehingga programnya pun tak terlalu banyak. Namun apa lacur, karena banyak yang tak keluar setahun yang lalu, pekerjaan semakin tak jelas dengan jumlah anggota yang tidak berimbang.

    Sebuah kesalahan saat biro dimana aku bertugas di BEM justru menerima anggota banyak pada saat perekrutan. Tentu hal ini tak efektf. Tetapi tak apalah, karena dengan pensiunnya anggota yang angkatan 2011, tentu akan berkurang banyak jumlahnya. Aku berharap kelak kepala biro yang berikutnya benar-benar berasal dari orang yang kualitas kerja baik, dipilih dengan berbagai pertimbangan yang ada oleh sang ketua.

    Baru beberapa hari lalu, aku berbincang dengan sorang temanku yang merupakan satu tim pengusul KKN (Kuliah Kerja Nyata). Dia merupakan teman seperjuanganku saat awal-awal menjadi anggota pengurus BEM. Kami masuk pada waktu yang sama. Hanya perbedaannya, tahun lalu dia keluar dari BEM saat rezim baru terbentuk. Penyebab dia keluar dari BEM cukup beragam menurutku, namun semua merujuk kepada satu kesimpulan, yakni bahwa dia takut bahwa apabila melanjutkan bertugas di BEM, dia akan menjadi sosok yang namanya ada dalam daftar anggota pengurus BEM, namun batang hidungnya jarang terlihat di sekitar ruangan BEM. Dan hal ini nyata terjadi pada beberapa staf senior yang tidak menjadi kepala departemen atau biro. Hanya beberapa staf senior yang masih acap kali terlihat di seputaran ruang BEM, menghabiskan waktu dengan mengobrol, bercengkerama, main catur, hingga main kartu. Patut diingat, bahwa seiring dengan berjalannya waktu, rasa memiliki di organisasi nirlaba semacam BEM akan makin lama makin berkurang. Kalau hal ini saja terjadi pada level kepala departemen atau wakilnya, bisa dibayangkan pada apa yang terjadi dengan staf senior yang tak menjadi kepala atau wakil departemen.

    Kalau dipikir-pikir, sistem yang ada di BEM FEB UGM ini tak ubahnya pemerintah yang terlalu banyak menerima jumlah PNS yang ada. Sudahlah sesungguhnya terlalu banyak, namun tiap tahun pasti ada suara-suara yang mengeluh kekurangan anggota dengan alasan-alasan yang seharusnya mudah untuk dipatahkan. Tentu yang terjadi adalah ketidakjelasan pekerjaan dan ketidakefektivan pekerjaan. Pertanyaannya adalah mengapa tidak memaksimalkan sumber daya yang ada? Mengapa justru mengutamakan jumlah anggota baru yang jumlahnya kurang sesuai dengan pekerjaan yang ada? Kalaupun ada yang menjawab bahwa tentu rekrutan baru lebih memiliki semangat aku mengiyakan. Tetapi mengapa tidak memberi pekerjaan atau tanggung jawab kepada mereka-mereka yang sudah senior? Bukankah salah satu faktor rasa memiliki adalah adanya tanggung jawab suatu pekerjaan? Kalaupun ada yang menanyakan lagi bahwa sang senior itu tak dapat diberi tanggungjawab sehingga lebih memilih untuk merekrut orang baru, mengapa tidak dilakukan pendekatan secara khusus kepada yang bersangkutan? Bukankah dalam internal BEM FEB UGM itu sendiri terdapat suatu biro yang dibentuk untuk menangani masalah seperti itu?

    Sekali lagi, tentu ketua dan para kepala departemen atau biro berperan untuk menggerakkan para anggotanya untuk bersama-sama mengatasi sistem ini. Mungkin baik pertimbangan pemerintah membuka lowongan pekerjaan untuk calon PNS, yang diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran, walaupun komposisi antara PNS dengan pekerjaan sudah cukup senjang dan tidak terjadi pemerataan pekerjaan. Tetapi apa iya peran BEM di fakultas harus seperti demikian layaknya pemerintah yang bertujuan mengurangi pengangguran? Dilema yang ada adalah memilih banyak anggota atau memaksimalkan anggota yang ada. Semuanya memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.

    Tinggal pintar-pintarnya para pembuat kebijakan untuk memilih, mana yang paling sesuai dengan kondisi organisasi saat ini. Tentu tak ada salahnya hal demikian menjadi bahan perenungan bersama para pengurus BEM, utamanya calon pengurus untuk tahun 2014. Mungkin konteks ini agak mirip dengan perekrutan panitia EBK tadi, namun untuk BEM, bukankah sebelum mendaftar para calon anggota pengurus sudah mendaftar sesuai minat, bakat, dan passionnya?

    Lain di BEM, lain pula sistem yang ada di tingkat Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Sistem yang ada seperti sebuah perusahaan swasta, yang menurutku hampir mirip dengan sistem kontrak. Pada HMJ, apabila dilakukan perekrutan pengurus baru, mereka “dikontrak” untuk masa bakti satu tahun. Setelah setahun berlanjut, berganti rezim baru, hanya beberapa orang saja yang “beruntung” untuk menjadi kepala semacam departemen atau biro. Sisanya keluar karena adanya “kontrak” masa bakti setahun. Demikian terus terjadi selama berulang-ulang. Aku mengetengahkan maksudku, bahwa di dalam BEM tentu mungkin tak perlu sistem “ekstrim” macam demikian.

    Cukup dengan memberi pilihan pada para senior yang tidak naik pangkat, untuk keluar atau lanjut. Jikalau dia ingin keluar, tentu jangan dihalangi secara lebih apabila dia “hanya” menjadi staf. Yang terjadi selama ini justru sebaliknya, bahwa anggota yang ingin keluar karena “hanya” menjadi staf kelak selalu ditahan. Tentu dia harus mempertimbangkan konsekuensinya yang ada kelak. Bahkan lebih jauh lagi diberi pilihan secara tegas, keluar atau tidak, dengan pemberitahuan konsekuensi yang didapat untuk sang staf senior.

    Ah, tak terasa semua minuman sudah habis, dan hujan pun sudah reda. Puas kami bertiga saling bercerita, antar para staf senior yang tidak naik pangkat, dan pandangan dari sudut orang diluar pengurus BEM itu sendiri. Kami bertiga pun berjalan melangkah keluar, melangkah ke arah parkiran yang letaknya cukup jauh, mengingat sulitnya mencari lokasi parkir motor akhir-akhir ini. Que sera sera, dua tahun aku dan temanku si kacamata berkarir di BEM, tak terasa tinggal menghitung hari kami berada di BEM FEB UGM. Tentu banyak kenangan manis yang tak dapat terlupakan, baik dan buruk. Kelebihan dan kekurangan yang ada, tentu semua harus dapat diperbaiki secara maksimal.

    Aku, dan mungkin semua anak FEB, berharap akan adanya kemajuan berarti dari BEM. Semoga ketua baru nanti, siapapun yang terpilih, benar-benar komitmen akan janji-janjinya pada saat kampanye, dan mampu membuat perubahan untuk organisasi yang lebih baik. Aku pun melarikan motorku menuju ke rumahku yang diiringi dengan rintik air hujan sesekali, tentunya dengan sejuta harapan dari pembicaraan tadi.

    Penulis: Bintang Prasodjo

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.