Skip to content

Sekolah Unggulan dan Sistem Zonasi Pendidikan : Identitas Pribadi Berlandaskan Nama Sekolah atau Daya Saing?

    Dokumentasi: BEM FEB UGM 2019

    Aset penting dalam pembangunan kualitas individu tercermin dalam level pendidikannya. Sosiolog berkebangsaan Perancis, Emile Durkheim, menyebutkan bahwa pendidikan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan industri pekerjaan dan diperoleh melalui spesialisasi tenaga kerja serta jenis mata pelajaran yang ditawarkan. Durkheim menjelaskan peran sekolah dalam membentuk social solidarity yang membentuk komunitas dan kerja sama. Sekolah yang berperan sebagai institusi pendidikan berusaha memberikan transmisi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Sekolah menyimbolkan ‘complex societies’ yang terdiri atas sekumpulan orang dengan latar, budaya, etnis, kepribadian, dan karakteristik unik lainnya. Sekolah juga mempersiapkan keterampilan masing-masing individu dalam memperkaya kapabilitas dirinya sebagai manusia. Secara teori, institusi pendidikan seharusnya adil dan memberikan kesetaraan antar kalangan. Namun, ketidaksetaraan tersebut masih terjadi dilihat dari cerminan citra “sekolah favorit”, “sekolah unggulan” dan istilah-istilah lain yang lumrah di masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh ajaran Marxis tradisional bahwa sistem pendidikan bekerja untuk kaum elite yang berkuasa. Sistem pendidikan seperti ini akan menghasilkan ketidaksetaraan. Pertama, semakin tinggi tingkat kekayaan berkorelasi positif dengan strata pendidikan yang diperoleh. Kedua, orang akan memercayai bahwa ketika ia gagal dalam mencapai strata pendidikan yang lebih tinggi disebabkan oleh kemampuan dirinya sendiri. Kita perlu menyadari bahwa tanpa adanya pemerintah, ketersediaan sekolah sebagai barang publik tidak akan terjadi. Akan tetapi, fasilitas penunjang pendidikan dan informasi mengenai returns of education perlu menjadi pusat perhatian.

     

    Sejak tahun pembelajaran 2018-2019, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah menerapkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kebijakan ini dilaksanakan sebagai upaya pemerataan jumlah siswa di setiap sekolah yang ada di tiap provinsi, dengan catatan terdapat sebagian kecil siswa yang diterima melalui jalur surat tidak mampu dan jalur prestasi. Sistem zonasi memprioritaskan siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah agar menghilangkan diskriminasi pendidikan. Sistem ini nantinya juga akan mencakup kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik dan kualitas sarana prasarana. Sistem zonasi bukanlah sistem yang baru diperkenalkan di dunia pendidikan. Sistem ini telah diterapkan di beberapa negara maju seperti di Australia, Jepang dan Jerman. Sistem ini dirasa oleh Kemendikbud mampu menciptakan pemerataan kualitas dan kuantitas institusi pendidikan di indonesia. Namun, kita tidak dapat menutup diri dari fakta bahwa cita-cita tersebut akan berjalan lama dan masih banyaknya celah yang harus dibenahi. Akan tetapi, dampak secara sosial serta psikologis pasti akan ada.

    Taclott Parsons, seorang sosiolog berkebangsaan Amerika Serikat, menjelaskan  pentingnya sekolah sebagai media sosialisasi utama setelah keluarga. Pendidikan dijalankan dengan dua nilai dasar: Penghargaan yang mengindikasikan yang memiliki kemampuan akademik lebih tinggi akan memperoleh keberhasilan dan seluruh kalangan memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan (equality of opportunities). Sebelumnya, Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore, melalui Davis-Moore Hypothesis menjelaskan sistem stratifikasi pada pendidikan. Sistem stratifikasi memastikan kalangan terbaik yang mampu memperoleh pekerjaan. Alhasil, mereka harus berkompetisi untuk mencapai yang terbaik. Ketiga sosiolog ternama di atas sepakat bahwa sistem meritokrasi (didasarkan atas usaha dan kemampuan) merupakan sistem yang tepat dalam menjalankan pendidikan. Sistem ini secara tidak langsung menjelaskan hasil atas pendidikan yang diperoleh individu hanya berbuntut pada prospek karirnya pada masa mendatang, bukan menjadi penentu ke mana ia bersekolah pada jenjang selanjutnya. Melalui sistem zonasi, label sekolah favorit atau unggulan akan dihilangkan. Berdasarkan pendekatan sosiologi, sistem zonasi tidak akan memengaruhi prospek karir masa depan mengingat siswa diberikan kelas yang sama satu sama lain, kesempatan yang sama untuk bertanya, berdebat, beropini dan lain lain. Jadi, tidak ada hubungan antara zonasi sekolah terkait keberhasilan siswa di masa depan sebagai members of the society. Keberhasilan atas prospek karir lebih berpengaruh saat memasuki level pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi mendiversifikasikan program pendidikan sesuai dengan bakat individu yang cukup terasah dan sesuai kapabilitasnya. Namun, sejumlah faktor masih mendorong angka drop-out, karena tidak semua individu berhasil memperoleh pendidikan sesuai dengan kemampuan terbaiknya. Di sisi lain, sejumlah opini di atas didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah sebagai penyedia sarana pendidikan mampu melengkapi dan memastikan bahwa semua sekolah memperoleh kesamaan kualitas guru dan kuantitas pendanaan pengadaan fasilitas penunjang sekolah.

     

    Sekolah Favorit : Apakah Efektivitas Pembelajaran Merupakan Sebuah Gengsi Semata?

    Stigma “sekolah favorit” yang melekat pada segelintir sekolah negeri berusaha dihilangkan melalui sistem zonasi yang nampaknya masih akan bertahan hingga beberapa tahun kedepan. Pasalnya, sekolah favorit sering diasosiasikan dengan output yang berkualitas unggulan sebagai hasil dari proses pembelajaran yang efektif. Di sisi lain, stigma ‘sekolah favorit’ berasosiasi dengan ‘framing’ sehingga memicu sifat irrasionalitas manusia. Terdapat tujuh karakteristik yang korelatif terhadap suatu sekolah untuk dapat disebut sebagai sekolah efektif: misi sekolah yang jelas, ekspektasi kesuksesan yang tinggi, kepemimpinan instruksional oleh kepala sekolah, kesempatan belajar dan waktu penugasan peserta didik, lingkungan yang aman dan tertib, hubungan sekolah dan keluarga peserta didik, dan pengawasan yang sering terhadap pembelajaran peserta didik (Kirk & Jones, 2004).

     

    Hal ini menjadi dampak psikologis saat sistem zonasi diberlakukan sementara kelengkapan fasilitas penunjang masing-masing sekolah belum memandai. Menurut Gallagher (1991) dan Rimm (1997), perisitiwa ini berdampak pada underachievement setiap siswa yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor personal. Performa siswa menjadi kurang optimal dan buruknya akan merusak kemampuannya apabila tidak ditempatkan di sekolah yang berkualitas dan memiliki fasilitas yang mampu memaksimalkan potensinya sebagai manusia. Secara psikologis, siswa membutuhkan persaingan untuk memaksimalkan potensinya. Namun, apabila persaingan antar siswa tidak terjadi, efek atas pemberlakuan zonasi akan cukup membingungkan. Dalam hal ini, studi empiris perlu dilaksanakan sebagai upaya untuk mengetahui outcome pendidikan atas diberlakukannya zonasi, apakah hasil prestasi siswa lebih baik sesudah diberlakukannya zonasi daripada sebelum pemberlakuan zonasi. Namun, studi ini baru dapat dilaksanakan bertahun-tahun mendatang.

     

    Zonasi sekolah tentu memiliki pro dan kontra tersendiri. Namun, dengan kondisi dan kualitas pendidikan di indonesia yang masih belum merata, memiliki sistem pendaftaran yang baru bisa dibilang belum saatnya. Seharusnya Kemendikbud memfokuskan terhadap pemerataan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendidikan serta tenaga pengajar agar bisa mengurangi sedikit demi sedikit label sekolah favorit atau unggulan dari mindset rakyat Indonesia agar zonasi bisa diterapkan dengan efektif dan lancar.

     

     

    Referensi:

    Livesey, Chris. 2014. Cambridge International As And A Level Sociology Coursebook. Cambridge University Press.

    nn (n.d). A Functionalist Analysis. Tersedia di: http://vcampus.uom.ac.mu/soci1101/841_a_functionalist_analysis.html (Diakses pada 8 September 2019).

    Paz, Gabriella L. (2016). Public Education in Capitalism: A Marxist Perspective. Tersedia di: https://www.leftvoice.org/Public-Education-in-Capitalism-A-Marxist-Perspective (Diakses pada 8 September 2019).

    Rikowski, G. (2004). Marx and the Education of the Future. Policy Futures of Education 2(3) pp. 565-577. Tersedia di: https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.2304/pfie.2004.2.3.10 (Diakses pada 8 September 2019).

    Thompson, K. (2015). The Marxist Perspective on Education. Tersedia di: https://revisesociology.com/2015/01/27/marxist-perspective-education/ (Diakses pada 8 September 2019).

    _____. (2017a). Durkheim’s’ Perspective on Education. Tersedia di: https://revisesociology.com/2017/08/22/functionalist-durkheim-role-education/ (Diakses pada 8 September 2019).

    _____. (2017b). Taclott Parsons’ Perspective on Education. Tersedia di: https://revisesociology.com/2017/09/05/taclott-parsons-perspective-on-education/ (Diakses pada 8 September 2019).

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.