Skip to content

Mempertanyakan Legitimasi Presiden Terpilih 2014

    presiden garuda

    Pesta Demokrasi akan dimulai. Demam pemilu pun sontak semarak disetiap bagian kehidupan bermasyarakat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai gencar-gencarnya melakukan sosialisasi pemilu demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas. Namun berbagai masalah mulai muncul. Salah satunya terkait Pasal 3 Ayat 5 UU Pilpres.
    Pembatalan Pasal 3 Ayat 5 UU Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi membawa pencerahan terhadap pelaksanaan pemilihan presiden tahun ini. Pelaksanaan putusan MK ini akan dilaksanakan pada 2019. Namun pelaksanaan putusan ini menuai pro dan kontra. Pihak yang kontra merasa putusan ini harus segera dilaksanakan tahun ini juga karena Pasal 3 UU tersebut telah dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum.
    Kontra lain yang berhubungan dengan permintaan pembatalan Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres kepada MK adalah ayat dalam pasal tersebut bertentangan dengan pasal 22 E UUD 1945 yang berbunyi “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Kehakiman, Yusri lIhza Mahendra dalam Kompas (2013) mengatakan, “Kalau pemilu DPR dipisah dengan pemilu presiden, nanti dalam lima tahun ada dua pemilu. Pemilu harus satu kali dalam lima tahun.” (1)
    Berdasarkan hal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan satu kali dalam 5 tahun. Jadi, ketika pemilu dilaksanakan 2 kali (Pileg dan Pilpres), hal ini akan bertentangan dengan UUD atau bersifat inskonstitusional. Berdasarkan asas hukum lex superior derogat legi inferior, ketika ada 2 hukum yang saling bertentangan, maka yang digunakan adalah hukum yang lebih tinggi.
    Berdasarkan tingkatan hukum di Indonesia, UUD adalah tingkatan tertinggi sehingga apabila ada hukum yang bertentangan dengan UUD maka otomatis batal. Atas dasar ini pula, MK mengabulkan permohonan untuk membatalkan Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres.
    Persoalan baru pun muncul ketika MK memutuskan untuk mengadakan pemilu serentak pada periode yang akan datang (2019). Sebagian kalangan menilai bahwa putusan MK tersebut merupakan kesalahan, karena putusan MK berlaku dan mengikat secara hukum pada saat dibacakan. Seperti yang dikatakan olehYusril yang dilansir Kompas (2014), “Intinya, putusan MK itu blunder. Putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat seketika setelah putusan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.” (2)
    Dari pernyataan Yusril ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika MK memutuskan untuk membatalkan Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres, seketika itu juga pasal tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Namun, dalam mengambil keputusan, MK tidak hanya melihat kasus konstitusional saja sebagai masalah utama, tetapi juga dengan pertimbangan lain.
    Terlalu dekat keluarnya putusan MK dengan jadwal pelaksanaan pemilu 2014 menjadi penyebab lain yang dijadikan pertimbangan untuk melaksanakan pemilu serentak pada 2014. Bagaimanapun juga, putusan MK tetap harus dihormati.
    Tetapi, dengan putusan MK tersebut, apakah Presiden yang terpilih pada 2014 nantinya mempunyai payung hukum yang kuat? Jika nantinya presiden 2014 terpilih dan berdasarkan Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres tahun 2008 yang memang bertentangan dengan UUD 1945 dan dibatalkan MK, apakah presiden 2014 tersebut legitimate?
    Semisalnya ada sebuah kalangan atau pihak yang tiba-tiba menggugat legitimasi presiden ke MK berdasarkan pembatalan Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres yang sudah dibatalkan dan bertentangan dengan UUD 1945, apakah jabatan presiden nantinya dibatalkan juga karena tidak mempunyai payung hukum yang jelas?
    Selain itu, sistem presidential threshold yang mensyaratkan parpol yang mengajukan calon presiden dan wakil presiden harus mendapatkan minimal suara yang telah ditentukan yang juga bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945”. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
    Lalu, apakah presiden 2014 yang terpilih nanti masih legitimate atau sangat rawan untuk digugat? Apakah MK sendiri juga menjadikan kasus ini sebagai kasus prioritas, atau terkesan menganggap kasus ini yang kurang begitu penting?
    Kompas (2014) melansir bahwa, “Permohonan ini juga membutuhkan waktu satu tahun lebih untuk dikabulkan oleh MK. Effendi dan koalisi sudah mengajukan permohonan ini sejak Januari 2013 lalu.” (3)
    Dengan pembacaan keputusan yang bertanggal 23 Januari 2014 yang terlalu dekat dengan jadwal pemilu sehingga beresiko rawannya presiden terpilih 2014 untuk digugat, apakah tidak dipikirkan juga dampak yang lebih besar dengan legitimasi presiden?
    Jika putusannya bisa dibacakan lebih cepat, tentunya ada persiapan jauh-jauh hari untuk mempersiapkan pilpres yang legitimate dan mempunyai payung hukum yang kuat.

    oleh Arif anindita.

    (1)Sandro Gatra. (edt. Heru Margianto). http://nasional.kompas.com/read/2013/12/13/1956346/Uji.UU.Pilpres.Yusril.Bidik.Pembatalan.Ambang.Batas.Suara.Pencalonan.Capres. Kompas.com. 13 Desember 2013
    (2) Inggried Dwi W. http://nasional.kompas.com/read/2014/01/25/0820578/Putuskan.Pemilu.Serentak.2019.MK.Tak.Ingin.Ada.Kekacauan. Kompas Cetak dalam Kompas.com. 25 Januari 2014
    (3) Ihsanuddin (edt. Sandro Gatra). http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1504396/Gugatan.UU.Pilpres.Dikabulkan.Pemilu.Serentak.2019. Kompas.com. 23 Januari 2014

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.