Skip to content

Analisis Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia

    Bank Indonesia (BI) sudah mengerek BI Rate menjadi 7,25%. Kenaikan BI Rate tersebut untuk merespons kenaikan inflasi dan luruhnya nilai tukar rupiah. BI rate sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia juga memiliki tujuan dasar sebagai kebijakan moneter yakni menjaga kestabilan harga barang. Hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas ekonomi dalam jangka panjang maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips-curve) sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, national economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam mendoronh inflasi dapat mendorong terjadinya permasalahan time-consistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijakan moneter mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi. Lalu bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Apakah sudah sesuai dengan untuk apa teori kebijakan moneter itu dilakukan?

    Jika kita melihat inflasi year on year Indonesia Oktober 2013 dapat dikategorikan cukup terkendali pada 8,32 persen, hanya sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya. Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme dari variabel BI rate, inflasi, dan nilai tukar rupiah? Jika suku bunga naik, hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Di sisi lain dengan suku bunga yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS konversi ke rupiah dengan bunga bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah.

    Efektifkah kebijakan ini? Jika kita lihat sampai saat ini, mungkin bisa dikatakan kebijakan ini belum efektif karena nilai tukar rupiah hampir menyentuh Rp 12.000 per 1 U.S. Dollar. Namun Friedman pada 1968 menyatakan bahwa kebijakan moneter mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang (Long-Run) dan mempunyai lag. Sejarah membuktikan, BI senantiasa menggunakan suku bunga tinggi untuk meredakan panasnya ekonomi Indonesia.

    Apa yang akan terjadi? Pengalaman menunjukkan, kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia ke lembah krisis. Tahun 1997/1998 BI menerapkan kebijakan suku bunga tinggi hingga money market sampai dengan 70% untuk meredam inflasi. Efeknya kurang mendorong pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan besar. Dampak yang berat dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang kelojotan—kredit menjadi puso atawa macet. Nilai tukar rupiah menyala sampai dengan di atas Rp15.000 per US$1. Bank-bank masuk jurang dengan kelojotan likuiditas yang kering. Akhirnya bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit yang menjadi almarhum. Pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank sampai dengan Rp650 triliun.

    Tahun 2005 dan 2008 pola yang sama kembali dianut, kendati agak berbeda efeknya. Pada 2005 kenaikan harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga dan tak berbeda pada 2008. Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat situasi pasar mencari keseimbangan baru yang bukan berarti tidak menelan korban. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah (BI) pada 2008 relatif berhasil karena krisis tidak sampai melumatkan ekonomi Indonesia, hanya menekan pertumbuhan ekonomi menjadi di kisaran 4,1%. Kebijakan bailout terhadap Bank Century yang dilakukan pemerintah dengan mekanisme asuransi (bukan APBN seperti 1998) bisa jadi ikut berperan dalam menahan krisis perbankan.

    Kebijakan suku bunga tinggi dari BI ini telah diantisipasi oleh bank-bank dengan menaikkan suku bunga, baik suku bunga dana maupun sudah pasti suku bunga kredit. Kebijakan pembatasan pembelian properti dengan menaikkan uang muka merupakan sinyal agar bank-bank mengerem laju ekspansi. Apakah keseimbangan baru yang trennya menurun atau justru keseimbangan baru yang lebih tajam menukiknya? Tidak ada yang bisa memastikan bahwa kondisi ke depan akan seperti bara api krisis dengan menelan banyak korban atau justru akan dingin kembali seperti 2008?

    Banyak langkah yang akan dilakukan bank-bank untuk menyedot banyak likuiditas di pasar. Tidak peduli likuiditas dolar ataupun rupiah. Semua dilahap habis oleh bank-bank. Jika demikian, akan terjadi koreksi di perbankan. Bank-bank yang hanya mengandalkan dana mahal akan banyak terkena dampak karena kredit secara mendadak juga akan terhenti menunggu kepastian pasar.Perebutan dana makin sengit dan tetap menjaga kualitas kredit menjadi sangat penting. Jangan sampai menelan dana sangat mahal, tapi kreditnya batuk-batuk dan seret karena dikelola tidak benar. Efek jangka pendek ialah akan terjadi flight to quality; dana berpindah ke tempat yang diyakini lebih aman.

    Semoga keseimbangan baru ke depan tidak akan memakan korban bank sebab transmisi krisis selalu bermula dari bank. Jika bank baik-baik saja, krisis akan datang ke sini hanyalah hembusan angin semata. Namun, siapa yang berani memastikan akan ada krisis atau tidak akan ada krisis? Yang pasti tetaplah berjaga-jaga dengan cadangan likuiditas yang memadai karena kita tengah memasuki rezim suku bunga tinggi kembali dengan siklus lebih pendek. Sekali lagi proses dan transmisi dari kebijakan moneter selalu memakan waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968).

    Patrick Kuntara Harpranata Silangit

    Staff Kajian Strategis BEM FEB UGM

    (Dari Berbagai Sumber)

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.