Skip to content

Stainless Steel Straw, Barang Substitusi yang Tepat untuk Kebaikan Lingkungan?

    Oleh: M. Faiz Zaidan Alharkan

    “There is no ethical consumption under capitalism”

                Gerakan anti sedotan plastik sedang gencar-gencarnya dipromosikan di Indonesia. Gerakan ini berusaha mengurangi penggunaan sedotan plastik sekali pakai di Indonesia. Dikutip dari media republika, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Divers Clean Action memperkirakan pemakaian sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93.244.847 batang. Seperti yang kita tahu, penguraian limbah plastik membutuhkan waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, gerakan anti sedotan plastik menginisiasi munculnya berbagai macam sedotan dengan bahan dasar yang beraneka ragam seperti Stainless Steel.

    Stainless steel straw (sedotan besi anti karat) merupakan sebuah inovasi yang bertujuan untuk meminimalisir penggunaan sedotan plastik sekali pakai. Dengan menggunakan stainless steel straw, sedotan dapat digunakan berkali-kali. Namun, pertanyaan singkat dapat muncul dari penggunaan reusable straws, yaitu ‘apakah dengan kita menggunakan stainless straw atau sejenisnya (reusable straws) seperti sedotan bambu dan sedotan kaca berarti kita telah menyelamatkan bumi? Atau sudah tepatkan bisnis stainless straw telah sesuai dengan kegiatan ekonomi lingkungan?’

                Humboldt State University (HSU) dan Engr308 Technology and Environment menganalisis perbandingan penggunaan sedotan yang diklasifikasikan menjadi sedotan reusable dan disposable. Reusable terdiri dari sedotan bambu, sedotan kaca, dan sedotan besi sedangkan untuk sedotan disposable terdiri dari sedotan kertas dan sedotan plastik.

    Tabel 1. Perbandingan Antara Plastic Straw, Stainless Steel Straw, Glass Straw, Paper Straw, dan Bamboo Straw

    Sumber: Engr308 Technology and the Environment and the Humboldt State University, 2018

    Dalam analisisnya, mereka membandingkan penggunaan energi, biaya dan emisi  karbon dioksida dari seluruh empat jenis sedotan, yaitu sedotan plastik, sedotan besi, sedotan kaca, sedotan kertas, dan sedotan bambu. Berdasarkan pengujian, penelitian ini memperoleh temuan yang menarik, yaitu produksi sedotan besi menimbulkan emisi karbondioksida dan energi yang terbesar di antara produksi sedotan jenis lainnya dengan energi sebesar 2420 kJ. Di sisi lain, jenis sedotan lainnya, energi yang timbul relatif lebih rendah, yaitu sedotan kaca (1074 kJ), sedotan bambu (756 kJ), sedotan plastik (23,7 kJ) dan sedotan kertas (16 kJ). Dari segi konsumsi emisi karbondioksida, sedotan besi masih berada pada peringkat pertama yaitu 217 gram CO2. Sedotan kaca berada di peringkat kedua (65,2 gram CO2) dan diikuti oleh sedotan bambu (38,8 gram CO2), sedotan plastik (1,46 gram CO2), dan sedotan kertas (1,38 gram CO2). Emisi karbon dioksida merupakan salah satu penyumbang terjadinya Global Warming.

    Grafik: embedded CO2

    Sumber: Engr308 Technology and the Environment and the Humboldt State University, 2018

    Penggunaan sedotan besi akan relatif lebih baik apabila sedotan tersebut telah digunakan 149 kali dari segi emisi karbon dioksida. Selanjutnya, sedotan kaca (45 kali) dan sedotan bambu (27 kali) menyusul. Artinya, penggunaan sedotan besi demi pelestarian lingkungan akan menjadi sia-sia jika penggunaannya tidak mencapai 149 kali. Hal ini dikarenakan pada rentang 149 kali penggunaan, massa karbon dioksida yang terbuang oleh besi akan lebih banyak dibandingkan plastik. Begitu juga penggunaan sedotan jenis lainnya. Sama halnya dengan penggunaan tote-bag yang bila tidak digunakan sebanyak 7100 kali akan berdampak lebih buruk dibandingkan penggunaan tas plastik.

     

    Tabel 2: Perbedaan Dampak dari Penggunaan Berbagai Jenis Sedotan

    Asumsi dengan 146 hari efektif sekolah

    Asumsi dengan 3500 mahasiswa baru setiap tahunnya

    HSU juga mengasumsikan penggunaan sedotan plastik di lingkungan kampus sebanyak seribu sedotan per harinya selama 146 hari efektif perkuliahan. Terdapat 211.700 gram CO2 yang dibuang oleh sedotan plastik dan 201.480 gram CO2 oleh sedotan kertas. Selanjutnya, HSU mengasumsikan 3500 mahasiswa baru setiap tahunnya untuk diberikan sedotan reusable. Hasilnya, sedotan besilah yang membuang karbondioksida terbanyak, yakni sebesar 760.095 gram CO2, disusul oleh sedotan kaca sebesar 228,130 gram CO2, dan sedotan bambu sebesar 136.045 gram CO2.

    Berdasarkan penelitian ini, HSU menyimpulkan bahwa sedotan bambu merupakan sedotan paling ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan kadar pembuangan karbondioksida pada sedotan bambu merupakan yang terendah daripada jenis sedotan lainnya. Namun, hal ini tidak didukung dengan tingkat harga yang rendah.

    Harga yang ditunjukkan dalam penelitiannya untuk setiap satu sedotannya ternyata sedotan bambu lebih mahal dibandingkan sedotan berbahan plastik, kertas, dan besi. Sedotan plastik berharga US$0,003, sedotan kertas berharga US$0,004, sedotan kaca berharga US$7,99 sedotan besi berharga US$0,32, dan sedotan bambu berharga US$1,29. Namun, harga-harga tersebut akan mengalami perubahan apabila ada program-program tertentu dari pemerintah. Tertutup pada hal-hal di atas, kampanye penggunaan sedotan besi agaknya keliru untuk melestarikan lingkungan. Padahal, sedotan bambu merupakan alternatif teraman.

    National Geographic pernah menyebutkan bahwa terdapat lima ratus juta sedotan plastik dibuang setiap harinya di Amerika Serikat. Dengan mengeluarkan isu lingkungan dan isu kesehatan pada kasus ini, sedotan besi dapat mengurangi sampah plastik yang dibuang. Akan tetapi, sedotan besi perlu dicuci kembali agar dapat digunakan lagi. Pencucian ini menimbulkan limbah sabun yang berpotensi menimbulkan masalah pada air bersih. Artinya, secara tidak langsung, teknologi baru memang dapat menghilangkan masalah dari barang substitusinya. Namun, masalah baru akan muncul apabila produk baru yang dihasilkan tidak dilandasi oleh analisis dan uji yang lebih mendalam.

                Dalam teori ekonomi mikro, segala hal yang disebut input adalah segala sumber daya yang dapat digunakan, baik Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), dan modal yang kuantitasnya terbatas. Hal ini berimplikasi pada penggunaan faktor produksi haruslah digunakan seefisien dan seefektif mungkin agar mampu memenuhi kebutuhan dan memuaskan manusia. Teknologi yang berdampak buruk pada lingkungan seharusnya dapat diminimalisir produksinya. Sejarah tidak pernah menyebut dampak buruk terhadap lingkungan dari perkembangan teknologi sebagai acuan utama. Fokus utama selalu mengenai kepentingan manusia yang berujung terhadap kapitalisasi.

    Munculnya stainless steel straw dan berbagai jenis reusable straw merupakan upaya untuk mengatasi masalah dari sedotan plastik, dengan mengasumsikan sedotan besi sebagai pengganti yang lebih baik untuk kebaikan lingkungan. Berinovasi tanpa menyiksa lingkungan sehingga berdampak baik bagi bumi merupakan hal yang sulit. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah meminimalisir dampak yang akan terjadi untuk lingkungan.

    Seandainya suatu populasi sudah mempunyai sedotan besi dan pada kondisi tertentu, individu A membeli es teh di warung. Apakah ada jaminan bahwa individu A selalu ingat membawa stainless steel straw? Di sisi lain, mayoritas penjual akan langsung menyertai pesanan es teh dengan sedotan plastik. Jika kita membawa stainless steel straw dan lupa mengingatkan penjual untuk tidak menyertai sedotan plastik, apakah kita tetap menggunakan sedotan besi yang kita bawa? Hal ini perlu dorongan yang sangat besar bagi masyarakat luas untuk membantu mengurangi konsumsi sedotan dari segala jenisnya, baik dari diri kita sendiri maupun berbagai kalangan pengguna atau penyedia aktif sedotan plastik. Sedotan berbahan besi, plastik, kertas,  dan bambu, semuanya memiliki lebih dan kurangnya masing-masing. Salah satu alternatif lainnya adalah meminum tanpa menggunakan sedotan. Namun, kapitalis selalu memiliki ide bisnis yang mampu mendorong masyarakat untuk memahami pola bisnisnya. Oleh karena itu, sesungguhnya satu-satunya cara untuk mengurangi dampak sampah, pemanasan global, masalah lingkungan adalah dengan mengurangi sikap konsumtif.

    Referensi:

    Aini, N. (2018) ‘Gerakan Anti-Sedotan Plastik Mulai Gencar di Tanah Air’, Republika, 19 September. Available at: https://internasional.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/pfao4k382/gerakan-antisedotan-plastik-mulai-gencar-di-tanah-air (Accessed: 5 March 2019)

    Gibbens, S. (2018) ‘A Brief History of How Plastic Straws Took Over The World’, National Geographic, 9 July. Available at:

    https://www.nationalgeographic.com.au/nature/a-brief-history-of-how-plastic-straws-took-over-the-world.aspx (Accessed: 6 March 2019).

    Humboldt State University and Engr308 Technology and Environment. (2018) ‘HSU Staw Analysis’, Appropedia, 8 December. Available at:

    http://www.appropedia.org/HSU_straw_analysis (Accessed: 6 March 2019).

    Thornton, T. (2018) ‘Here’s how many times you actually need to reuse your shopping bags’, Phys, 6 August Available at:

    https://phys.org/news/2018-08-reuse-bags.html (Accessed: 6 March 2019).

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.