Isu pemindahan ibu kota negara kembali bergema bulan lalu. Sejak zaman Presiden Soekarno, pemindahan ibu kota selalu muncul ke permukaan. Menurut data BPS pada tahun 2017, DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia merupakan provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. DKI Jakarta memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai 15.366,87 jiwa/km2. Dalam mengurangi tingkat kepadatan penduduk yang berhubungan langsung dengan kemacetan di Jakarta, pemindahan ibu kota dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar daerah. Akan tetapi, pemindahan ibu kota memunculkan paradigma tersendiri karena daerah-daerah yang direncanakan belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjadi ibu kota negara. Dalam artikel kali ini, kami tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai paradigma yang muncul dengan pemindahan ibu kota dan peran ibu kota sendiri dalam tata kenegaraan serta isu sosial dan ekonomi yang muncul dalam isu ini.
Peran Ibu Kota
Ibu kota merupakan pusat pemerintahan. Peran ini membuat ibu kota menjadi simbol suatu negara yang dapat menunjukkan siapa yang mengendalikan ibu kota juga dapat mengendalikan pemerintahan dalam skala nasional. Selain itu, ibu kota juga menjadi pusat perekonomian dan administrasi nasional. Oleh karena itu, mayoritas negara di dunia ini mengusahakan ibu kotanya menjadi simbol dinamika kehidupan sosial dan ekonomi untuk menarik investor asing dalam upaya meningkatkan produktivitas dalam negara tersebut. Akan tetapi, tipe-tipe pemerintahan mampu mempengaruhi peran ibu kota itu sendiri.
Kesatuan
Dalam negara kesatuan yang pada dasar pemikirannya terdiri dari satu pemerintah pusat yang kuat dan setiap daerah diwajibkan untuk mempertangungjawabkan setiap kegiatan pemerintahan kepada pemerintah pusat, ibu kota sangat berperan penting dalam pemerintahan dan kesatuan nasional. Dalam bentuk ini, ibu kota sangat berperan penting dalam mengambil keputusan tertinggi. Hal ini membuat pengaruh ibu kota sangat signifikan dan sangat rigidkarena hampir semua permasalahan dibebankan kepada pemerintah pusat dan keputusan kebijakan pemerintah daerah (dalam hal ini kebijakan hukum dan ekonomi) harus disetujui oleh pemerintah pusat. Sistem ini menunjukkan suatu permasalahan tersendiri bagi ibu kota negara karena daerah sulit melakukan transformasi yang mendadak tanpa persetujuan pemerintah pusat dan menciptakan rigidcommand system (keputusan terpenting hanya mampu dikeluarkan oleh pemerintah pusat). Kekuatan pemerintah pusat sangatlah kuat sehingga pemerintah pusat mampu mengubah haluan secara searah tanpa bertanya kepada perwakilan daerah masing-masing karena mereka tidak memiliki hak veto untuk menentukan kebijakan nasional. Dalam keadaan krisis tahun 1998, meski kericuhan hanya terjadi di Jakarta, efeknya terasa secara menyeluruh di daerah-dearah lain karena pusat perekonomian dan pemerintahan dalam keadaan kritis. Selain itu, terdapat hipotesis berupa pembangunan berpusat di pemerintahan pusat menciptakan ketidakmerataan ekonomi, politik, dan sosial. Sistem ini sebenernya sangat cocok bagi negara yang memiliki homogenitas penduduk, kebudayaan, agama, dan kesamaan dasar pemikiran politik.
Serikat
Dalam negara berbentuk serikat, negara terdiri dari berbagai negara bagian yang memiliki otonomi yang lebih tinggi daripada negara berbentuk kesatuan. Sistem ini membuat daerah-daerah memiliki kekuatan yang cenderung lebih baik dan dapat langsung mempertangungjawabkan setiap program pemerintahan langsung ke penduduk negara bagian tersebut, meski sistem ini terlihat seperti pemerintah pusat tidak terlalu mempengaruhi secara langsung keadaan masyarakat di negara-negara bagian. Pemerintah daerah juga memiliki otoritas yang lebih tinggi ketimbang pemerintah pusat dalam menentukan hukum dan kebijakan ekonomi yang berlaku. Oleh karena itu, pemerintah negara bagian memiliki otoritas ke dalam yang signifikan. Hukum nasional (Federal law) yang biasa diatur oleh presiden hanya digunakan sebagai acuan dalam menjalankan pemerintahan di daerah masing-masing. Hal ini membuat krisis di daerah tertentu tidak secara langsung memengaruhi nasional sehingga pemerintah pusat dapat segera melakukan intervensi untuk mencegah terjadinya penyebaran krisis tersebut yang memicu krisis berdampak sistemik. Ketika suatu negara berbentuk serikat, ibu kota provinsi/negara bagianlah yang mempunyai pengaruh yang signifikan dalam bentuk negara tersebut. Namun, salah satu kelemahan sistem ini adalah ketiadaan kesatuan dasar hukum dan keterbatasan kekuatan pemerintah pusat sehingga membuat pembangunan yang bertingkat nasional dan masif memerlukan dukungan negara-negara bagian yang mungkin memiliki hubungan yang kurang baik antar negara bagian. Selain itu, terdapat ketidakmerataan antar negara bagian. Misalnya, negara bagian A menguntungkan secara ekonomi karena memiliki pelabuhan besar yang menyerap keuntungan dari perdagangan negara bagian lainnya sedangkan negara bagian lainnya memerlukan suntikan ekonomi dan pembangunan karena daerahnya kurang strategis untuk pembangunan nasional. Sistem ini cocok untuk negara dengan Multiculturalism dan memiliki berbagai macam ras, agama, dan beragam pandangan politik.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, kita dapat membedakan dan mempelajari lebih jauh mengenai perbedaan sistem pemerintahan memang mampu memengaruhi influence yang dimiliki oleh ibu kota di suatu negara. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, negara kesatuan seperti yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberikan influence yang sangat besar dalam kebijakan nasional dan daerah serta sangat kaku dalam keadaan krisis sehingga krisis di pusat pemerintahan mampu memengaruhi keadaan politik, ekonomi, dan social sampai ke tingkat nasional. Di sisi lain, negara serikat memiliki pemerintahan pusat dengan kontrol yang lebih terbatas pada daerah-daerah yang mereka kendalikan sehingga krisis di pusat belum tentu memengaruhi keadaan politik, ekonomi, dan sosial di negara-negara bagian lainnya. Kesamaan dari kedua sistem ini adalah pemerintah pusat memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur keamanan serta persatuan tingkat nasional dan hak untuk melakukan kebijakan internasional. Pemerintahan daerah/negara bagian tidak dapat campur tangan dalam dua kebijakan ini karena dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan politik nasional.
Pembangunan Ekonomi
Salah satu argumen utama dalam pemindahan ibu kota adalah keinginan untuk pemerataan ekonomi terhadap daerah di luar pulau jawa dan meningkatkan kesejahteraan di daerah tersebut. Ibu kota sebagai pusat perekonomian memang selalu diharapkan mampu memberikan gambaran kota metropolitan yang penuh dengan aktivitas perekonomian dan urusan-urusan administrasi negara lainnya. Dalam teori ekonomi klasik, pembangunan infrastruktur merupakan faktor pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada ide bahwa kesiapan infrastruktur memudahkan flows of goods sehingga perekonomian negara menjadi lebih dinamis. Ibu kota negara sepantasnya menyimbolkan dinamika dan keaktifan ekonomi di negara tersebut. Dengan sistem pemerintahan yang sangat terpusat, pembangunan ekonomi juga ikut terpusat pada pusat pemerintahan. Seperti yang sudah diberitakan oleh beberapa saluran berita nasional, daerah yang dituju sebagai ibu kota baru berada pada Kalimantan Tengah. Untuk memahami lebih lanjut potensi pembangunan nasional mari kita menganalisis lebih lanjut kepadatan penduduk yang dapat mempengaruhi tingkat pembangunan itu sendiri.
Berdasarkan data di atas kita dapat menganalisis lebih jauh mengenai potensi pembangunan di daerah calon ibu kota. Kepadatan penduduk yang tidak terlalu padat pembangunan tingkat nasional tidak akan mengalami terlalu banyak hambatan seperti penggusuran tempat tinggal warga. Hal ini tentunya merupakan hal positif karena dengan kesiapan infrastruktur yang baik perekonomian dapat berjalan lebih lancar dan memberikan potensi peningkatan dinamika ekonomi yang lebih baik. Namun, tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah mengindikasikan perlu adanya insentif bagi penduduk atau UMKM untuk membuka keran perekonomian di Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan perekonomian tidak dapat berjalan apabila pangsa pasarnya tidak tersedia.
Berdasarkan materi data di atas, kita dapat melihat sektor pertambangan memberikan kontribusi terbesar pada APBN 2018 nasional. Hal ini memberikan rasionalitas untuk memindahkan ibu kota ke kalimantan sehingga mampu mendekatkan ke pusat kontributor perekonomian nasional. Seperti yang telah diketahui, Pulau Kalimantan memiliki posisi pertambangan yang bagus. Dengan pemindahan ibu kota, pembangunan infrastruktur yang lebih besar dapat dialokasikan untuk memberikan potensi pengembangan akses pertambangan yang maksimal. Akan tetapi, bila pusat dinamika ekonomi hanya didasarkan pada pertambangan, ketergantungan ekonomi yang kurang dinamik akan terjadi. Ketergantungan ekonomi pada sektor pertambangan dapat memberikan dampak ekonomi yang buruk pada jangka Panjang, terutama bila hasil tambang sudah habis. Ketergantungan pada sektor pertambangan juga tidak memberikan dinamika ekonomi pada sektor lain.
Menurut berita dari CNBC Indonesia dalam artikelnya yang berjudul “Hari ini Jokowi Cek 4 Lokas Calon Ibu Kota Baru Kalteng”, kita dapat melihat lokasi calon ibu kota yang tidak memiliki akses langsung ke pelabuhan. Hal ini dapat dikatakan menarik karena sektor ekonomi terlihat seolah-olah ingin dibangun berdasarkan pendapatan dari pertambangan ketimbang perdagangan. Padahal, sektor pertambangan memiliki nilai tambah yang lebih rendah dan memiliki cost yang lebih tinggi daripada sektor perdagangan ataupun sektor industri pengolahan. Tujuan pemindahan ibu kota ini yang awalnya bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi makin keruh bila kita teliti secara mendalam mengingat sektor pertambangan merupakan sektor yang mengalami penurunan tenaga kerja yang diganti dengan alat-alat otomatis yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja. Menurut saya, bila tujuan pemerintah adalah pemerataan ekonomi seharusnya pemerintah meningkatkan pada sektor perdagangan karena dapat memberikan peluang dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Pembangunan pelabuhan-pelabuhan di daerah perbatasan dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan pendapatan dari sektor perdagangan. Oleh karena itu, pembangunan di daerah yang tidak memiliki akses ke pelabuhan laut merupakan bukti keanehan/ketidaksiapan pemindahan ibu kota. Pemindahan ini mungkin dapat menyebabkan isu baru, yaitu saat hasil tambang telah habis, pemerintah tidak dapat melakukan transisi sektor ekonomi dikarenakan semua dana nasional telah diinvestasikan pada sektor pertambangan.
Akses Teknologi dan Informasi
Pada era digital ini, akses teknologi dan informasi merupakan faktor yang terpenting dalam pemerintahan terutama bagi negara kesatuan yang keputusan tertingginya berada pada pemerintah pusat. Dalam hal ini, pemerintah pusat perlu mempunyai akses informasi yang mudah dan cepat untuk memperkuat kendali pemerintah pusat. Akses listrik dan internet merupakan faktor yang harus dimasukkan dalam mengetahui kemudahan akses informasi.
Pada materi yang dipublikasi di-katadata.com yang berjudulkan “143,3 juta Penduduk Indonesia Punya Akses Internet, Hampir 60% di Jawa”, kita dapat melihat akses listrik di Pulau Kalimantan sendiri masih berada pada angka 8 persen. Hal ini menunjukkan minimnya akses listrik di daerah tersebut. Penyediaan infrastruktur untuk menunjang sektor ini perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat memberikan akses yang maksimal. Akses pembangkit listrik perlu dikembangkan agar listrik dapat tersedia selama 24 jam nonstop sehingga mampu menerima informasi setiap saat dan siaga dalam keadaan genting nasional. Pada era saat informasi dapat diakses setiap saat, pemerintah pusat harus selalu memperbarui informasi permasalahan yang muncul di daerah-daerah. Dengan kemudahan akses listrik, pengembangan pada bagian teknologi digital dan internet dapat didukung.
Berdasarkan infografis di atas, kita dapat menganalisis lebih lanjut mengenai pengembangan akses internet di pulau-pulau Indonesia. Dapat kita perhatikan bahwa pulau jawa mempunyai komposisi pengguna internet terbesar di Indonesia. Akan tetapi, Kalimantan-lah yang berada pada puncak penetrasi internet. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan komposisi dan penetrasi ini adalah jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Dengan pemindahan ibu kota ke pulau Kalimantan yang memiliki penetrasi internet yang mencapai 72,19 persen, kontrol pemerintah dapat dijalankan lebih mudah dan dapat merealisasikan salah datu proyek pemerintah yaitu “e-government”.
Program “e-government” adalah kegiatan administrasi negara seperti pelaporan pendapatan kena pajak, izin pembukaan toko, dan lain-lain diselesaikan melalui sistem online. Sistem ini bertujuan untuk mengurangi waktu yang terbuang dalam mengantre untuk memberikan surat-surat yang diminta dan mengurangi biaya administrasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemberlakuan sistem ini membutuhkan kemudahan akses internet tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga bagi masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Akan tetapi, akses listrik yang masih rendah di Kalimantan dapat menjadi faktor penghambat dikarenakan sistem dapat berhenti mendadak akibat listrik yang masih tidak stabil. Pengembangan akses listrik dan internet di daerah calon ibu kota dan daerah lainnya, terutama daerah satelit (sekitar calon ibu kota baru) juga harus dikembangkan untuk memaksimalkan keberhasilan program “e-government” ini.
Dinamika Sosial dan Politik
Isu sosial dan politik juga akan muncul ketika pemindahan ibu kota telah sepenuhnya dilaksanakan. Salah satu isu sosial yang akan muncul adalah “culture shock”. Kebudayaan sosial yang biasa diterapkan pada daerah tersebut mengalami perubahan dalam waktu singkat sehingga terjadi kejutan yang dapat menciptakan kesenjangan kebudayaan sosial. Dengan dinamika ibu kota yang memerlukan kecepatan dan ketepatan waktu yang tinggi, efek kejutan akan terjadi, terutama bagi masyarakat sekitar yang terbiasa tidak merasakan dikejar-kejar oleh waktu. Selain itu, ibu kota akan mengundang imigran dari luar daerah sehingga akan terjadi urbanisasi yang terjadi secara cepat yang dapat memberikan efek kejut masyarakat yang terbiasa saling mengenal dalam satu kampung akan menemui perkumpulan atau orang-orang baru di lingkungan mereka pada masa awal pemindahan ibu kota. Tentunya efek kejut ini tidak akan selamanya dirasakan, hal ini hanya akan dirasakan pada masa awal-awal pemindahan sehingga pada jangka panjang masyarakat akan terbiasa dengan adaptasi dengan situasi ibu kota.
Isu yang juga menarik untuk dibahas adalah kepentingan politik pada pemindahan ibu kota. Seperti yang kita ketahui saat ini ibu kota Indonesia yang saat ini masih berada di Jakarta dipimpin oleh pemimpin dari pihak oposisi pemerintahan pusat. Hal ini tentunya membuat pemerintah pusat merasa tidak nyaman dalam melakukan kebijakannya karena merasa berada di bawah pengaruh pihak oposisi. Hal ini diperkuat dengan turunnya approval pada partai-partai yang disokong oleh pemerintah pusat (PDIP, Hanura, PKB, dan lain-lain) dikalahkan poleh partai-partai oposisi (Gerindra, Demokrat, PKS, dan lain-lain). Dengan pemindahan ibu kota ini juga bertujuan untuk memenuhi janji pemerintah untuk melakukan pemerataan ekonomi di daerah-daerah luar jawa. Di pulau-pulau nusantara lainnya, approval pemerintah relatif lebih rendah dan dapat dikatakan hampir bersaing dengan pihak oposisi. Dengan pemindahan ibu kota ini pemerintah bertujuan untuk meningkatkan legitimasi mereka di luar pulau jawa sehingga dapat memperkuat posisi mereka pada pemilu-pemilu yang akan datang.
Kesimpulan
Dengan dilaksanakan pemindahan ibu kota, berbagai isu dan paradigma tersendiri akan terjadi. Banyak hal yang dapat diteliti lebih lanjut sebelum memindahkan ibu kota. Akan tetapi, hal yang ingin saya garis bawahi adalah mayoritas isu-isu ini bermunculan karena sistem pemerintah yang sangat rigid dan secara tidak sadar menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi. Isu seperti pemerataan ekonomi dan pembangunan seharusnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat melainkan oleh pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih memahami isu sosial-ekonomi di daerah masing-masing. Pengaturan anggaran pengeluaran daerah seharusnya diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan sistem sentralisasi. hal ini jelas menunjukan ketidak merataan sosial-ekonomi sehingga ibu kota memiliki pengaruh yang besar dalam permasalahan nasional. Selain itu, sistem ini memberikan kekuatan pada ibu kota lebih besar daripada ibu kota daerah yang seharusnya memberkan efek terbesar di pembangunan daerah di penjuru Indonesia. Akses informasi di daerah-daerah juga perlu agar dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Akses informasi yang mampu diakses oleh segala pihak dapat mengembangkan pengambilan keputusan yang lebih sigap dan akurat. Meskipun demikian, keputusan ini belum tentu merupakan in best interest pemerintah daerah yang mampu mengembangkan lebih lanjut dan mengontrol lebih lanjut pembangunan serta pelaksana kebijakan itu sendiri.
Hal yang paling unik untuk dibahas adalah dinamika sosial-politik yang dapat terjadi bila pemindahan ibu kota ini telah terlaksana secara sepenuhnya. Kemungkinan besar akan terjadi culture shock, yaitu saat masyarakat yang terbiasa tinggal di daerah rural menjadi urban. Isu politik juga merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi pemindahan ibu kota ini. Dengan tujuan mengurangi pengaruh oposisi di tingkat nasional dan usaha untuk memenuhi janji pemerintah, tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan saat ini diharapkan mampu meningkat dan rezim ini mampu bertahan pada pemilu berikutnya. Menurut saya isu politiklah yang menjadikan faktor utama pemindahan ibu kota bukan isu sosial-ekonomi yang diangkat sebagai diksi pemindahan ibu kota oleh pemerintah pusat. Bila isu sosial-ekonomi merupakan masalah yang ingin diatasi, maka diperlukan pembentukan ulang sistem pemerintahan yang terlalu terpusat dipemerintah pusat dan membentuk negara yang mampu membagi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah lebih baik sehingga ada “check and balance” antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Referensi :
APJII (2017). “Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia”. Tersedia di: https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_2017_v1.3.pdf (Diakses pada 23 Mei 2019)
Asmara, Chandra Gian (2019). “Hari ini Jokowi Cek 4 Lokas Calon Ibu Kota Baru Kalteng”. Tersedia di https://www.cnbcindonesia.com/news/20190508074111-4-71124/hari-ini-jokowi-cek-4-lokasi-calon-ibu-kota-baru-di-kalteng (Diakses pada 23 Mei 2019).
“APBN kita kinerja dan fakta”, edisi Januari 2019, Kementerian Keuangan
BPS Provinsi DKI Jakarta. (2017). Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta, 2015, Himpunan Data Elektronik, Publikasi Statistik Indonesia, Tersedia di: https://jakarta.bps.go.id/statictable/2017/01/30/138/distribusi-dan-kepadatan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-dki-jakarta-2015.html (Diakses pada 23 Mei 2019).
BPS Provinsi Kalimantan Tengah. (2019). Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, 2000, 2005, 2010-2018, Himpunan Data Elektronik, Publikasi Statistik Indonesia, Tersedia di: https://kalteng.bps.go.id/dynamictable/2017/04/26/212/kepadatan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-provinsi-kalimantan-tengah-2000-2005-2010-2018.html (Diakses pada 23 Mei 2019).
Setyowati, Desy (2018).”143,3 juta Penduduk Indonesia Punya Akses Internet, Hampir 60% di Jawa”. https://katadata.co.id/berita/2018/02/19/1433-juta-penduduk-indonesia-punya-akses-internet-hampir-60-di-jawa (Diakses pada 23 Mei 2019)