Skip to content

Nasionalisasi PT Inalum oleh Pemerintah Indonesia

    Pemerintah Indonesia melakukan suatu langkah besar dengan melakukan nasionaliasi terhadap PT Inalum (Indonesia Asahan Aluminium) per 1 November 2013. Langkah ini diambil setelah pemerintah Indonesia memutuskan utuk melakukan termination agreement (pengakhiran kerjasama) 30 tahun pengelolaan Inalum yang berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Master Agreement for the Asahan Hydroelectric and Aluminium Project (MA) pada 7 Juli 1975, kontrak kerjasama berakhir pada 31 Oktober 2013.

    Jika kita melihat sejarah berdirinya PT Inalum, perusahaan ini merupakan joint venture antara pemerintah Indonesia dengan Jepang yang berlokasi di Sumatera utara pada 1976. Perusahaan ini bergerak dalam bidang PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dan Pabrik Peleburan Aluminium. Penanam modal dari pihak Jepang berasal dari 12 perusahaan penanam modal yang membentuk sebuah perusahaan dengan nama Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd (NAA)  Perbandingan kepemilikan saham antara pemerintah Indonesia dan PT Nippon Asahan Aluminium pada saat perusahaan didirikan adalah 10% dengan 90%. Komposisi kepemilikan saham tersebut mengalami beberapa kali perubahan, dan sejak 10 Februari 1998 perbandingan kepemilikan saham menjadi 41,12% untuk pemerintah Indonesia, dan  58,88% untuk PT Nippon Asahan Alumunium (NAA).

    Dalam proses akuisisi PT Inalum pemerintah Indonesia sempat mengalami masalah, yaitu terkait perbedaan nilai buku antara Indonesia-Jepang hingga saat ini. Menurut NAA, nilai buku Inalum hingga Maret 2013 mencapai US$ 626,1 juta. Angka ini mencakup nilai aset, inventaris, pembangkit listrik dan smelter. Namun, menurut pemerintah Indonesia, berdasarkan audit akhir Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai buku Inalum hanya sebesar US$ 424 juta. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, kedua pihak mengadakan beberapa pertemuan dan akhirnya menyepakati angka pengakuisisian PT Inalum sebesar US$ 556,7 tuta atau senilai Rp5,5 triliun . Di samping itu, kedua pihak juga bersepakat, jika hasil audit terhadap nilai buku Inalum berada pada angka lebih tinggi US$ 20 juta dari US$ 556 juta, atau lebih rendah US$ 20 juta dari US$ 556 juta, jalan arbitrase akan ditempuh. Termination agreement akan dilakukan pada 9 Desember 2013. Proses pengambilalihan saham sendiri butuh waktu 10 hari dan selesai pada 19 Desember 2013.

    Setelah diakuisisi oleh pemerintah Indonesia, pengelolaan PT Inalum berada dibawah Kementerian BUMN sesuai peraturan perundang-undangan. Selain itu, DPR juga menerima keinginan pemerintah Provinsi Sumatera Utara beserta 10 Kabupaten dan Kotamadya di daerah strategis Proyek Asahan untuk berpartisipasi memiliki saham di PT Inalum (Persero), dengan catatan kepemilikam Pemerintah RI dipertahankan minimal 70 persen.

    Ada beberapa alasan yang mendorong pemerintah untuk melakukan akuisisi PT Inalum. Alasan yang pertama adalah industri aluminium mempunyai prospek yang baik. Estimasi pertumbuhan permintaan atas aluminium di pasar domestik akan meningkat secara signifikan selama periode 2010-2030 hingga lebih dari tiga kali lipat. Selain itu, PT Inalum merupakan satu-satunya industri penghasil aluminium ingot di dalam negeri. Disamping itu, akuisisi PT Inalum diharapkan dapat membantu  memenuhi kebutuhan bahan baku alumunium di dalam negeri dengan baik, karena pasokan produksi Inalum yang selama ini dikirim ke Jepang sebesar 70%, akan dialihkan ke dalam negeri. Kebutuhan alumunium untuk industri di Indonesia rata-rata per tahun sekitar 700 ribu ton, sementara hasil produksi Inalum yang didistribusikan untuk kebutuhan lokal ‘hanya’ sekitar 100 ribu ton, sehingga Indonesia masih harus impor sekitar 600 ribu ton. Sementara itu, kemampuan produksi Inalum rata-rata per tahun sebesar 240 ribu ton, sehingga Indonesia masih harus melakukan impor alumunium, diantaranya dari Jepang.

    Alasan kedua adalah industri aluminium smelting memiliki profitabilitas baik. Saat ini Inalum berada di industri aluminium smelting dengan profitabilitas cukup tinggi untuk industri aluminium secara keseluruhan. Peleburan alumina menjadi aluminium ingot dinilai mempunyai peningkatan nilai tambah yang signifikan, yaitu dari US$ 350 per ton alumina menjadi US$ 2.500 per ton aluminium ingot. Alasan yang ketiga adalah PT Inalum merupakan satu-satunya perusahaan peleburan aluminium di Asia Tenggara yang memiliki fasilitas lengkap seperti pabrik carbon plant, reduction plant dan casting plant dan siap dikembangkan lebih lanjut. Selain itu, PLTA Siguragura adalah pemasok tenaga listrik untuk kebutuhan kurang lebih 14 ribu kilowatt per hour (kWh) per ton aluminium cair. Alasan yang keempat adalah akuisisi PT Inalum merupakan langkah menuju Intergrasi Industrialisasi Indonesia. Pengambilalihan Inalum merupakan inisiasi dari pertumbuhan industri aluminium nasional secara terintegrasi yang meliputi pengembangan industri untuk bahan baku, smelter, power plant dan pemrosesan menjadi produk bernilai tambah

    Untuk pengembangan PT Inalum, pemerintah rencananya akan menaikkan kapasitas produksi hingga 450.000 ton per tahun. Untuk melakukan hal itu, diperlukan penambahan jumlah tungku peleburan dan pembangunan pembangkit listrik baru untuk kebutuhan energi pabrik. Dana yang dibutuhkan diperkirakan sebesar US$ 1 milyar atau sekitar Rp 11 trilyun. Sejauh ini, ada opsi untuk melibatkan BUMN untuk mendukung pengembangan terhadap PT Inalum .

    Langkah pemerintah Indonesia untuk mengakuisisi PT Inalum patut diapresiasi. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan hal ini menghadirkan sebuah tantangan bagi pemerintah untuk dapat mengelola PT Inalum dengan baik. Dibutuhkan keseriusan dari Kementerian BUMN selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan PT Inalum untuk bisa mengembangkan PT Inalum kedepannya. Selain itu, jangan sampai akuisisi PT Inalum sebagai dimanfaatkan untuk kepentingan segolongan pihak dan menjadi lahan korupsi. Pemerintah juga harus bisa membuktikan bahwa akusisi PT Inalum dapat memberikan kebermanfaatan bagi bangsa dan negara. Selain itu,  nasionalisasi PT Inalum juga bisa menjadi awal yang baik pemerintah untuk dapat melakukan nasionalisasi juga terhadap  Industri-industri yang selama ini dikuasai oleh pihak asing, misalnya kontrak Total E&P Indonesie di Blok Mahakam yang akan habis pada tahun 2017. Akan tetapi, nasionalisasi tersebut tentunya harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara.

     

    Ferdian Nevri Putra

    Staff. Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM

     

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.