Skip to content

Efektivitas Peraturan Pemerintah dalam Pencegahan Transmisi COVID-19 Pada Kondisi Mudik Pasca Lebaran di Indonesia

    Oleh: Eileen

    Latar Belakang

    Coronavirus Disease 2019 atau yang lebih dikenal dengan COVID-19 telah menarik perhatian publik sejak kasus pertama yang dikonfirmasi oleh pemerintah China di Wuhan, China pada Desember 2019 lalu. Penyakit pernapasan yang sangat menular ini telah menginfeksi sekitar 4.618.821 dan 311.847 di antaranya meninggal akibat virus tersebut. Dengan kenaikan infeksi dan cepatnya masa penularan virus, Organisasi Kesehatan Dunia yaitu World Health Organization (WHO) menyatakan jenis sindrom pernafasan akut ini sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Menyusul pernyataan tersebut, banyak pemerintah telah memberlakukan pembatasan pada interaksi fisik warga negara, termasuk Indonesia, yang menempati peringkat ke-33 negara dengan kasus terkonfirmasi virus corona tertinggi di seluruh dunia (Coronavirus Update (Live), nd).

    Menjelang Idul Fitri, pemerintah Indonesia khawatir masyarakat akan melakukan perjalanan kembali ke kampung halaman untuk melihat keluarganya sebagai tradisi mudik lebaran pada hari-hari suci ini rutin terjadi. Menurut World Population Review, Indonesia terdiri dari 87,20% Muslim, yang berarti pergerakan yang besar diprediksi akan terjadi dalam mudik tahunan. Ini dapat menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi. Oleh karena itu, pada tanggal 23 April 2020 telah disahkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Pada Musim Idul Fitri 1441 H Dalam Rangka Pencegahan Penularan COVID-19.

    Namun, pembatasan sementara ini telah menimbulkan kekhawatiran publik karena beberapa orang berpendapat bahwa mereka harus kembali ke kampung halaman karena PHK karyawan yang baru-baru ini terjadi, dan beberapa lainnya mendukung keputusan pemerintah untuk membatasi perjalanan antarkota untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut. Hal ini menyebabkan Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan ambigu, yang menyatakan bahwa peraturan tersebut melarang “mudik”, tetapi tidak “pulang kampung”. Namun kedua kata tersebut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti yang sama.

    Bukan hanya itu, efektivitas kebijakan ini juga dipertanyakan karena banyak pihak yang terbukti melanggar aturan. Otoritas lokal telah menangkap beberapa dari mereka yang berusaha melakukan tindakan suap atau tindakan ilegal lainnya agar dapat melakukan perjalanan kembali dengan segala cara. Oleh karena itu, masalah efektivitas penerapan peraturan pemerintah ini akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Solusi yang mungkin, juga dinilai untuk memerangi dilema yang meningkat.

    1. PERATURAN PEMERINTAH TENTANG MUDIK PASCA RAMADHAN

    Pada 21 April 2020, Presiden Joko Widodo secara terbuka mengumumkan larangan mudik Idul Fitri yang diprediksi terjadi pada Mei, setelah Ramadhan berakhir. Kebijakan baru ini, kemudian resmi diberlakukan sejak 24 April 2020 hingga paling lambat 15 Juni.

    • Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020

    Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 menyatakan akan ada sanksi bagi mereka yang bersikeras untuk melakukan mudik. Pertama, sanksi diberikan kepada: (a) mereka yang masuk dan keluar dari wilayah terlarang yang diberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB); (b) mereka yang masuk dan keluar dari zona merah penularan COVID-19; (c) mereka yang masuk dan keluar dari area JaBoDeTaBek (Jakarta, Bandung, Depok, Tangerang, dan Bekasi); (d) mereka yang masuk dan keluar dari kawasan terlarang lainnya yang menerapkan kebijakan PSBB. Meski demikian, beberapa kendaraan merupakan diberikan pengecualian dari kebijakan sanksi seperti transportasi logistik barang, obat-obatan, dan petugas yang tergabung dalam satuan tugas COVID-19 serta ambulans dan mobil jenazah.

    Seperti dikutip dari Permenhub No. 25, akan ada dua tahapan sanksi. Pemberian sanksi tahap pertama akan dilakukan mulai tanggal 24 April hingga 7 Mei di mana sanksi yang diterapkan hanya akan menjadi peringatan dimana pelanggar hanya akan diminta untuk mengembalikan kendaraannya kembali ke daerah asal. Selanjutnya, sanksi tahap kedua akan terjadi mulai tanggal 7 Mei hingga 31 Mei 2020, dan selama periode tersebut sanksi yang diterapkan akan berupa denda yang ditujukan kepada pelanggar dengan maksimal Rp. 100 Juta dan kemungkinan satu tahun penjara.

    1.2 Operasi Layanan Transportasi Umum

    Sejalan dengan pembatasan mudik Idul Fitri, layanan angkutan umum juga diberhentikan. Namun, pada 7 Mei lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memutuskan untuk melanjutkan layanan angkutan umum (Anwar, n.d.). Ia berpendapat, regulasi yang baru beredar, yakni Perpres 25 Tahun 2020, telah memuat rincian siapa saja yang boleh bepergian dan bagaimana seharusnya layanan transportasi beroperasi selama pandemi ini. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa ‘mudik’ dilarang keras dan pembukaan kembali angkutan ini hanyalah bentuk pelonggaran regulasi, bukan menghapus larangan.

    1. ISU DALAM KEBIJAKAN YANG TELAH DIBUAT

    Peraturan pemerintah yang baru diberlakukan telah menimbulkan ketidakpastian baru tentang kebijakan pengaturan perilaku selama era pandemi COVID-19.

    2.1 Definisi Buram untuk ‘Mudik’ dan ‘Pulang Kampung’

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baik kata ‘mudik’ maupun ‘pulang kampung’ memiliki arti yang sama. Sebagaimana tercantum dalam KBBI, ‘mudik’ berarti berlayar dan pergi; kembali ke kampung halaman. Sedangkan, menurut pemerintah dalam wawancara Mata Najwa, Presiden Joko Widodo mengklaim kedua pernyataan itu memiliki arti yang berbeda. ‘Pulang kampung’ adalah situasi yang terjadi ketika satu-satunya tujuan seorang migran adalah bekerja dan keluarganya berada di tempat asal. Sedangkan ‘mudik’ adalah pemberangkatan massal orang yang oleh Presiden, digambarkan sebagai orang yang berangkat ke kota asalnya untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besarnya. Dengan itu, pemerintah memutuskan untuk melarang mudik , tetapi bukan tindakan ‘pulang kampung’.

    Definisi ini telah menyebabkan kebingungan bagi masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Presiden, orang yang berhak pulang adalah mereka yang baru saja menganggur dan tidak dapat melanjutkan hidup di kota rantau. Namun, sulit untuk memvalidasi tujuan perjalanan antarkota apakah mereka pulang kampung atau merayakan Idul Fitri. Pertanyaan tentang bagaimana mengukur validasi alasan tertentu pada mereka yang melakukan ‘mudik’ dan mereka yang kembali ke rumah, bagaimanapun, tetap tidak terjawab.

    2.2 Inkonsistensi Pemerintah dalam Implementasi Regulasi

    Beberapa aturan dan regulasi diterapkan secara lokal oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah Jakarta membuat peraturan di mana orang yang ingin berpergian harus memiliki izin melintasi perbatasan dan hanya bisa diizinkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, pada saat yang sama, pemerintah pusat telah melonggarkan pembatasan mobilitas masyarakat dengan mengizinkan angkutan umum seperti bandara dan stasiun kereta api. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai, kebijakan yang tidak sinkron di berbagai daerah membuat masyarakat bingung dengan situasi tersebut. Dengan sumber komando yang berbeda, hal ini menimbulkan ketidakefisienan dalam pelaksanaan regulasi.

    Selain itu, terdapat inkonsistensi dan miskomunikasi antar lembaga negara. Pada tanggal 29 April 2020 telah terjadi ekspektasi kedatangan 500 TKA Tionghoa di Sulawesi Tenggara (goriau). Kepala Kepolisian Indonesia (IPC) Neta S Pane menilai peraturan pemerintah itu aneh, tidak penting, diskriminatif, dan membingungkan karena kebijakan itu melarang WNI bepergian antarkota, sedangkan 500 TKA asal China diizinkan masuk ke Indonesia. Pane juga berpendapat bahwa aparat kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk menegur TKA dan kedatangan TKA tersebut menimbulkan konflik di masyarakat. DPRD harus mengambil tindakan untuk melaporkan dan membatalkan kedatangan TKA melalui Kementerian Ketenagakerjaan.

    2.3 Resistensi Publik

    Salah satu masalah utama yang muncul dari kebijakan pembatasan tersebut adalah resistensi warga negara Indonesia, khususnya mereka yang kehilangan sumber pendapatan akibat pandemi global. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan mata pencaharian mereka di kota dengan standar hidup yang relatif tinggi tanpa sumber pendapatan yang dapat diandalkan.

    Tidak hanya itu, beberapa umat Islam juga menyatakan perbedaan pendapat terhadap pembatasan ‘mudik’. Sudah tertanam secara budaya di benak masyarakat bahwa mereka harus merayakan Idul Fitri, hari suci umat Islam, bersama keluarga besar mereka. Mereka juga bersikeras bahwa Mudik Pasca-Ramadhan tidak boleh dibatasi karena itu adalah satu-satunya periode di mana mereka dapat mengunjungi keluarga mereka saat mereka menghabiskan sisa tahun bekerja.

    1. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN

    Sudah hampir satu bulan penuh sejak Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) baru Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Pada Musim Idul Fitri 1441 H Dalam Rangka Pencegahan Penularan COVID-19 pertama kali diperkenalkan dan diterapkan. Efektivitas akan dinilai untuk menentukan apakah pejabat pemerintah harus puas dengan kebijakan yang telah mereka terapkan selama ini.

    3.1 Pelanggaran Peraturan

    Dikutip dari CNN Indonesia, sepuluh hari setelah berlakunya aturan ‘mudik’, polisi telah mencegat 25.728 kendaraan yang sedang melakukan mudik dalam proses pandemi COVID-19. Tindakan persuasif diambil dan kendaraan diminta untuk berbalik. Pos pemantauan berada di tujuh wilayah hukum Polda yang tersebar di Pulau Jawa dan Lampung. Data ini menunjukkan bahwa masih cukup banyak kendaraan yang keluar masuk wilayah zona merah dan PSBB. Sanksi persuasif yang dijatuhkan pasti tidak efektif serta gagal membatasi dan mengurangi mobilitas antarkota untuk mengendalikan penyebaran virus corona.

    Terhitung sejak dibukanya kembali Bandara Internasional Soekarno Hatta, masyarakat dihebohkan dengan penumpukan penumpang di bandara tersebut pada 14 Mei 2020. Sebagaimana tercantum dalam Permenhub Nomor 25 Tahun 2020, kapasitas maksimal pesawat adalah 50 persen dari kapasitas sebenarnya. Namun, jika dilihat dari penumpukan penumpang, implementasi regulasi sempat dipertanyakan. Seperti disampaikan anggota Ombudsman, Ri Alvin Lie, terdapat kurangnya koordinasi dan transparansi antara maskapai dengan Angkasa Pura II. Dengan data minimum, akibat tidak adanya transparansi di dalam institusi, sulit untuk memastikan kepatuhan institusi maskapai terhadap peraturan yang diberikan. Selain itu, penumpukan penumpang juga menunjukkan ketidakmampuan pihak berwenang untuk secara tegas memerintahkan masyarakat agar patuh dengan kebijakan social distancing yang telah diterapkan sebelumnya.

    Selain itu, persyaratan yang kompleks bagi orang untuk melakukan perjalanan telah menyebabkan praktik transaksi dokumen secara ilegal. Dikutip dari Kompas, masyarakat menjual surat izin bepergian serta catatan medis palsu tes PCR. Surat imitasi ini dijual melalui aplikasi media sosial, termasuk WhatsApp serta melalui platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia dengan harga mulai dari Rp. 39.000, – sampai Rp. 70.000, -. Pihak berwenang telah mengambil tindakan hukum untuk menangkap tersangka yang seharusnya bertanggung jawab atas transaksi ilegal tersebut. Dengan kejadian tersebut, hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pemerintahan yang baru kurang mengantisipasi tindak pidana tersebut sehingga kurang efektif.

    3.2 Informasi Kasus yang Dikonfirmasi

    Pemerintah telah merumuskan kebijakan untuk menghambat penularan lebih lanjut sejak kasus pertama virus corona di Indonesia dipastikan. Tujuan utama dari regulasi tersebut adalah untuk menghambat pertumbuhan pasien yang terinfeksi di Indonesia, atau sekedar untuk meratakan kurva kasus COVID-19 di Indonesia. Per 19 Mei 2020, Indonesia memiliki 18.496 kasus coronavirus yang dikonfirmasi 2019 dengan peningkatan harian 300 hingga 500 kasus. Tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai jumlah kasus perhari dibandingkan dengan sebelum Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tersebut diberlakukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembatasan mudik pasca Ramadhan tidak menstimulasi kurva COVID-19 untuk menjadi datar.

    1. SOLUSI UNTUK MENGATASI KETIDAKPASTIAN

    Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas kebijakan, beberapa solusi yang diusulkan sebagai berikut:

    4.1 Tindakan Penegakan Hukum yang Ketat bagi Individu yang Melanggar Peraturan

    Pemberitaan terkini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan perintah pemerintah daerah untuk menghalangi penularan penyakit virus corona pada tahun 2019. Menyikapi hal itu, konsekuensi yang berat harus diberlakukan untuk membatasi tindakan terpidana. Sebagai ilustrasi, alih-alih hanya memerintahkan para pemudik untuk kembali ke tempat tinggal mereka selama periode mudik, undang-undang seharusnya menyatakan bahwa mereka harus membayar denda di tempat dan bagi mereka yang tidak memiliki uang tunai akan didokumentasikan dan mereka akan tetap memiliki kewajiban untuk membayar denda. Penyedia transportasi yang mengaku bersalah secara diam-diam mengangkut penumpang yang tidak memenuhi syarat juga harus dikenai sanksi karena tidak mematuhi aturan. Tindakan dapat ditindak lanjuti dengan memenjarakan orang-orang yang terbukti melanggar aturan. Tindakan penegakan hukum ini harus dituntut untuk memberikan efek jera dan mencegah orang lain melakukan pelanggaran. Vietnam, sesama negara berkembang, juga telah melakukan tindakan preventif agresif yang membuat mereka cepat sembuh dari pandemi.

    Untuk memberlakukan langkah-langkah penegakan hukum yang lebih tegas, pemerintah harus menetapkan regulasi yang jelas, ringkas, dan konkrit tanpa ada ambiguitas, sehingga membatasi kemungkinan terjadinya celah dalam proses implementasi. Perbedaan persepsi mengenai kebijakan pemerintah harus dihilangkan agar publik memiliki pengertian yang sama atas hukum yang berlaku.  Penilaian ketidakpastian kebijakan harus dihilangkan agar publik sepenuhnya memahami hukum secara seragam. Selain itu, strategi regional harus diselaraskan dengan rencana pemerintah pusat untuk mengurangi inkonsistensi dalam pelaksanaan strategi. Selain itu, pemerintah harus sungguh-sungguh berkomitmen untuk menerapkan langkah-langkah penegakan peraturan agar lebih dari sekedar kewajiban tertulis.

    4.2 Menyelesaikan Resistansi Publik

    Akar pelanggaran tersebut berkaitan dengan kondisi ekonomi warga. COVID-19 telah menyebabkan jutaan nyawa kehilangan sumber pendapatan karena perusahaan tidak lagi dapat membayar gaji karyawannya. Hal ini mendorong masyarakat untuk kembali ke kampung halaman karena tidak dapat melanjutkan mata pencahariannya di kota tujuan. Masyarakat memprotes peraturan ‘mudik’ karena mereka menghadapi ketidakpastian baru dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, pemerintah harus memperbanyak anggaran tunjangan pengangguran atau menyediakan kebutuhan dasar, seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Cara lain yang mungkin adalah menyediakan pekerjaan sementara seperti implementasi Pakistan. Dimana menteri lingkungannya membuka 63.000 kesempatan kerja bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan karena COVID-19 sebagai bagian dari kampanye 10 Miliar Pohon Tsunami. Tanpa mengabaikan social distancing, buruh diberikan upah hidup sehari-hari sebagai “pekerja hutan” yang menanam dan melindungi pohon dari kebakaran dan penebangan liar. Ini akan bermanfaat bagi negara dalam jangka panjang sekaligus memberikan penghasilan bagi penduduk setempat.

    Selain itu, kesadaran akan pentingnya kebijakan social distancing dan pembatasan sosial harus ditingkatkan, terutama bagi masyarakat yang berpendidikan rendah. Kurangnya kesadaran publik telah menghambat penerapan regulasi secara efektif karena masyarakat masih akan tidak mematuhi tindakan pencegahan yang ada. Oleh karena itu, sosialisasi tentang bahaya virus harus dipastikan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut.

    4.3 Penyediaan Data yang Kredibel oleh Pemerintah

    Pemerintah dianggap sebagai sumber informasi paling dipercaya atau kredibel karena menyediakan dokumen resmi. Namun, awal tahun ini, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa data yang diberikan pemerintah terkait kasus COVID-19 tidak memadai (The Jakarta Post, n.d.). Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan statistik yang disediakan Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan data yang dilaporkan pemerintah daerah. Kurangnya informasi yang memadai membuat masyarakat skeptis. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pusat perlu meningkatkan transparansi dengan menyediakan data COVID-19 yang kredibel, valid, dan akurat di Indonesia. Data yang valid dan akurat mengurangi ketidakpastian yang dihadapi orang ketika mereka menghadapi batasan baru. Hal ini membangun kepercayaan dan keyakinan publik pada upaya pemerintah untuk menghambat penularan dan mengurangi dampak virus, sehingga meningkatkan efektivitas regulasi yang ditetapkan ketika kesesuaian masyarakat terjamin.

    Kesimpulan

    Sebagai penutup, Menteri Perhubungan Republik Indonesia (Permenhub) telah memperkenalkan dan mengeluarkan kebijakan baru, Peraturan Nomor 25 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi pada musim Idul Fitri 1441 H dalam rangka pencegahan penularan COVID-19 untuk menghambat penyebaran virus corona lebih lanjut. Kebijakan baru tersebut menjelaskan tindakan melarang mudik pasca-Ramadhan, tetapi bukan tindakan pulang ke rumah. Perpres baru akan memberikan sanksi bagi pelanggar yang berkeras ‘mudik’. Namun, regulasi tersebut dinilai tidak efektif dan salah dalam membatasi pergerakan massa menjelang Lebaran. Dugaan tersebut diperkuat dengan banyaknya isu, pelanggaran, dan kekhawatiran masyarakat umum terhadap kebijakan baru karena pernah ada kasus dimana regulasi tersebut gagal menurunkan tingkat perjalanan antarkota. Data statistik kasus positif Coronavirus tetap konstan sejak peraturan pertama kali diterapkan. Apalagi dengan terjadinya pelanggar di jalan raya dan penumpukan penumpang di bandara mencerminkan bahwa regulasi tersebut tidak mengkhawatirkan masyarakat akan konsekuensi hukumnya. Selain itu, telah terjadi penipuan dan suap di mana masyarakat mencari keuntungan dari transaksi surat palsu dan hasil tes PCR secara ilegal. Buktinya, peraturan baru tersebut gagal menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat umum.

    Solusi yang diusulkan untuk kebijakan baru agar lebih efektif adalah dengan terlebih dahulu memberikan sanksi yang lebih agresif. Selain itu, peraturan baru juga harus dapat mengakomodasi mereka yang mengalami kondisi pengangguran saat ini dengan menyediakan kebutuhan dasar, tunjangan pengangguran, dan menciptakan lapangan kerja baru. Dengan adanya kepastian pendapatan, kemarahan masyarakat akan berkurang dan regulasi dapat diterapkan dengan baik. Selain itu, pemerintah pusat juga harus mampu menyediakan sumber informasi yang akurat dan valid untuk menciptakan kepercayaan masyarakat luas. Dengan adanya pemerintahan yang dapat dipercaya, maka masyarakat umum akan mendapat kepastian untuk menyesuaikan diri dengan peraturan baru karena mereka percaya bahwa pemerintah adalah yang terbaik dalam pikirannya.

    Leave a Reply

    Your email address will not be published.