All that is valuable in human society depends upon the opportunity for development accorded the individual – Albert Einstein
EXECUTIVE SUMMARY
Papua merupakan salah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam di Indonesia. Namun, kekayaan tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Kekuasaan beberapa pihak asing serta belum mampunya penduduk lokal dalam mengelola aset lokal Papua mengakibatkan angka kemiskinan di Papua mencapai angka 27,43% pada semester kedua tahun 2018 yang merupakan angka tertinggi dari 34 provinsi di Indonesia serta berada di atas rata-rata angka kemiskinan nasional, yakni 9,66% (BPS, 2018). Selain itu, menurut survei Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR RI) dengan indikator Indeks Daya Saing Infrastruktur PUPR dari tahun 2010-2014, Papua konsisten berada di peringkat terbawah dengan skor 50,13 dan berada di bawah rata-rata nasional yang memiliki skor 67,04. Indeks Daya Saing Infrastruktur sendiri dibangun oleh indikator kualitas jalan, ketersediaan air minum yang layak, kepemilikan rumah, indeks kawasan permukiman tidak kumuh dan perkotaan, serta kesediaan akses sanitasi yang layak. Di antara lima indikator ini, Papua perlu menggarisbawahi tiga indikator, yaitu kualitas jalan, ketersediaan air minum yang layak, dan akses sanitasi. Rendahnya indeks tersebut serta faktor banyaknya penduduk miskin yang ada di Papua menjadi penyebab rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut data BPS (2019), nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua merupakan yang terendah dari 34 provinsi di Indonesia, yaitu 60,06 dan berada di bawah rata-rata nasional dengan nilai 71,39. Data BPS (2018) juga menyebutkan rata-rata lama sekolah bagi penduduk laki-laki Papua adalah 7,26 tahun (Nasional = 8,62 tahun) sedangkan bagi penduduk perempuan Papua, rata-rata lama sekolah adalah 5,7 tahun (Nasional = 7,72 tahun). Jika dibandingkan dengan angka nasional, maka akan kontras terlihat gap yang relatif jauh. Ketertinggalan Papua terasa nyata apabila dilihat berdasarkan data-data yang telah disampaikan sebelumnya. Oleh karena itu kebijakan pembangunan di Papua merupakan salah satu fokus utama pemerintah dalam beberapa waktu terakhir. Proyek ini tidak hanya berbicara mengenai Trans Papua, tetapi juga mencakup usaha penyediaan listrik dan pembangunan infrastruktur lainnya. Proyek-proyek ini telah dilaksanakan sejak zaman Orde Baru, tetapi sempat terhenti akibat adanya krisis pada tahun 1997-1998. Pada tahun 2001, proyek ini dilanjutkan kembali dan menjadi perhatian utama pemerintah pada 2014. Tujuan pengadaan proyek ini adalah membuka isolasi ekonomi yang ada di Papua sehingga masyarakat Papua dapat merasakan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga berusaha mewujudkan pemerataan pembangunan yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
PENDAHULUAN
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan potensi sumber daya alam (SDA). Provinsi ini memiliki sumber daya mineral yang bernilai tinggi, hasil hutan yang berlimpah, sumber daya sungai untuk pembangkit tenaga listrik yang besar, serta potensi lain seperti keindahan panorama alam yang luar biasa indah. Berdasarkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sungai Mamberamo di Papua adalah sungai dengan panjang 670 km yang berhulu di Pegunungan Jayawijaya dan berhilir ke Samudera Pasifik. Sungai ini memiliki potensi tenaga air sebesar 12.284 MW yang tersebar di 34 lokasi. Oleh karena itu, saat era pemerintahan BJ Habibie, kawasan Mamberamo akan dijadikan sentra industri tenaga listrik. Terlebih lagi, kawasan di sekitar Mamberamo memiliki kekayaan mineral komoditas tambang seperti bauksit, tembaga, emas, dan nikel. Ketersediaan PLTA yang menyediakan listrik berpotensi dapat menjadi faktor pendukung pembangunan industri tambang atau industri lainnya.
Secara astronomis, Provinsi Papua terletak pada 130° – 141° Bujur Timur dan 2°25′ Lintang Utara – 9° Lintang Selatan. Provinsi yang beribukota di Kota Jayapura ini memiliki luas wilayah sebesar 319.036 km² atau hampir tiga kali luas Pulau Jawa. Kekayaan alam yang ada di Provinsi Papua tidak hanya pada ketersediaan energi dan komoditas tambang, tetapi juga keragaman flora & fauna. Potensi paling menarik bagi wisatawan mancanegara adalah keberagaman jenis burung dan fauna sehingga Papua sebenarnya memiliki potensi wisata yang besar, serta dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat lokal.
Luasnya wilayah, keberagaman kekayaan alam, dan keindahan yang dimiliki tanah Papua tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Menurut BPS (2017), Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk sebesar 10 jiwa/km2 pada tahun 2015. kepadatan penduduk ini sungguh bertolak belakang dengan Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk sebesar 19.872 jiwa/km2 pada tahun yang sama. Rendahnya kepadatan penduduk di Papua dipercaya sebagai salah satu faktor penyebab kurang optimalnya pengelolaan SDA yang ada. Selain itu, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Provinsi Papua juga dapat menjelaskan alasan Provinsi Papua masih tertinggal dari provinsi lain di Indonesia.
Ketersediaan infrastruktur pendidikan menjadi salah satu sebab rendahnya angka Rataan Lama Sekolah (RLS) Papua. Angka Rataan Lama Sekolah menjadi acuan dalam kualitas pendidikan dalam suatu provinsi di Indonesia. Semakin maju kualitas pendidikan suatu provinsi, semakin tinggi juga angka RLS provinsi tersebut. Perlu dicatat bahwa nilai Rataan Lama Sekolah akan mempengaruhi indikator kemajuan lainnya, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan angka melek huruf. Berdasarkan data BPS (2018), nilai IPM Provinsi Papua adalah 60,06, lebih rendah daripada nilai IPM rataan Indonesia dari 34 provinsi adalah 71,39. Menurut definisi dari BPS (2014), IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR). Dimensi dasar yang diukur adalah: Umur panjang dan hidup sehat; Pengetahuan, dan; Standar hidup layak.
Dari paparan grafik di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu permasalahan Provinsi Papua adalah penyediaan fasilitas umum seperti sekolah, fasilitas kesehatan dasar, serta akses jalan penghubung desa-kota. Penyediaan sumber daya guru juga diperlukan, baik fisik dan non-fisik. Implikasi dari kurangnya penyediaan fasilitas dasar tersebut adalah kualitas hidup yang menurun. Dilihat dari data Angka Harapan Hidup (AHH), Provinsi Papua menempati posisi yang paling rendah dari 34 provinsi di Indonesia.
Dalam survei yang dilakukan 3 tahunan, yaitu tahun 2014 dan 2017, Provinsi Papua memiliki indeks kebahagiaan 2014 & 2017 berurutan sebesar 60,97 dan 67,52 (terendah dibanding 33 provinsi lainnya). Di sisi lain, rata-rata indeks kebahagiaan Indonesia 2014 & 2017 berurutan sebesar 68,28 dan 70,69. Walaupun tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, indeks kebahagiaan dapat menjadi ukuran yang cukup komprehensif dalam menyimpulkan berhasil atau tidaknya suatu pembangunan berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Indeks Kebahagiaan sendiri memiliki beberapa dimensi pengukuran, yaitu skor kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
Konflik yang membunuh belasan jiwa di Distrik Nduga, Papua pada akhir tahun 2018 menjadi ‘alarm’ pemerintah dalam membangun Provinsi Papua. Dengan membawa pola pikir mengenai pembangunan yang mayoritas difokuskan pada perbaikan infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi, masyarakat adat Papua merasa ‘termarjinalkan’. Pihak-pihak yang tidak puas, seperti OPM (Operasi Papua Merdeka), muncul karena didorong oleh kecemburuan sosial akibat ketimpangan dan diskriminasi antara pembangunan di wilayah timur dan barat. Menurut budayawan Selo Sumarjan, sejatinya pembangunan Papua harus mengutamakan pembangunan dalam sisi kemanusiaan, namun tidak melupakan aspek-aspek fisik yang akan dibangun secara beriringan.
KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN YANG TERJADI DI PAPUA
Berbagai cara terus diupayakan oleh pemerintah pusat demi mewujudkan negara Indonesia yang lebih maju. Langkah yang dilakukan adalah melalui upaya pembangunan infrastruktur, perbaikan birokrasi perizinan, perbaikan penyediaan pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Provinsi Papua termasuk dalam perhatian utama pemerintahan Joko Widodo karena provinsi ini termasuk provinsi yang memerlukan perhatian lebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Dengan konsep Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap daerah-daerah terluar di Indonesia termasuk Papua. Perhatian pemerintah direalisasikan dengan anggaran khusus yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan Dana Otsus (Otonomi Khusus) dan dana khusus untuk infrastruktur pada pemerintahan Jokowi.
Selain itu, perubahan struktur fiskal di daerah juga menjadi terobosan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Papua. Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyebut bahwa perlu dilakukan penguatan fiskal daerah dengan menerbitkan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) Nomor 25 Tahun 2013 yang mengatur bahwa alokasi dana otonomi khusus dari Pemerintah Pusat akan dialokasikan 80 % untuk kabupaten/kota, dan hanya 20 % untuk pemerintah provinsi. Ini adalah upaya pemerintah provinsi untuk memperkecil ketimpangan, baik ekonomi maupun sosial yang telah terjadi di daerah Papua. Pemerataan pembangunan ekonomi menjadi tujuan utama kebijakan ini.
Strategi lainnya yaitu penetapan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang berhasil ditetapkan untuk periode 2005-2025. Sebelumnya, sejak tahun 2001 saat Papua pertama kalinya memiliki otonomi khusus, rencana pembangunan jangka panjang belum pernah diformulasikan. Kini, RPJP telah memuat persiapan Provinsi Papua menjadi tuan rumah PON 2020. Hal ini menjadi peluang adanya redistribusi pembangunan infrastruktur besar-besaran di Papua. Dengan terpilihnya Papua sebagai tuan rumah perhelatan olahraga terbesar nasional, tentunya pemerintah daerah dan pusat semakin giat membangun venue, fasilitas umum, hingga transportasi massal.
Berkaca dari peristiwa yang terjadi saat pengelolaan proses penganggaran dana otonomi khusus di daerah yang kurang transparan serta diduga terdapat praktik korupsi, pemerintah pusat perlu melakukan konsolidasi dengan pemerintah daerah.
Dalam proses penganggaran juga didapati ketimpangan alokasi dana. Terdapat daerah yang seharusnya menerima alokasi dana yang besar malah mendapatkan porsi yang tidak proporsional, dan sebaliknya. Masalah ini justru akan memicu ketegangan sosial di Papua. Akibatnya muncul gerakan separatisme dari akar rumput yang menganggap bahwa pemerintah pusat kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat daerah. Berdasarkan permasalahan ini, perlu adanya efisiensi birokrasi terutama masalah anggaran agar terciptanya keuangan daerah yang transparan dan tepat sasaran.
Pendanaan dan feeder system juga menjadi perhatian pemerintah. Besarnya dana pembangunan Papua membuat APBN Indonesia membengkak. Untuk itu pemerintah mengambil opsi pendanaan publik dan swasta, yakni PPP (Public and Private Partnership). Dengan skema ini, konsorsium yang dilakukan akan meringankan beban fiskal negara sehingga negara dapat fokus ke cakupan pembangunan yang lebih luas.
KESIMPULAN
Dengan alokasi dana otonomi khusus yang dimaksimalkan dengan penyederhanaan birokrasi, serta perencanaan pembangunan Papua yang komprehensif tanpa mengorbankan pembangunan fisik maupun non-fisik, pelaksanaan pembangunan di Papua dapat dijalankan dengan lancar. Munculnya ketidakpuasan dari pihak akar rumput seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan elemen politis separatis lainnya, perlu diperhatikan dan harus menjadi alarm bagi pemerintah bahwa pembangunan ekonomi tanpa pembangunan manusia hanya akan menghasilkan konflik horizontal semata.
DAFTAR PUSTAKA
BPKAD Papua. (2015). Dana Otonomi Khusus (Otsus). [Online] Available on : https://bpkad.papua.go.id/dana-otsus.htm. [Accessed : 11 Mei 2019]
BPS. (2016). Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi 2000-2015. [Online] Available on : https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/09/07%2000:00:00/842/kepadatan-penduduk-menurut-provinsi-2000-2015.html. [Accessed : 12 Mei 2019]
_____. (2017). Angka Harapan Hidup (AHH) Saat Lahir Menurut Provinsi. [Online] Available on : https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/04/16/1298/angka-harapan-hidup-saat-lahir-menurut-provinsi-2010-2017.html. [Accessed : 11 Mei 2019]
_____. (2018a). Indeks Pembangunan Manusia. [Online] Available on : https://www.bps.go.id/subject/26/indeks-pembangunan-manusia.html. [Accessed : 12 Mei 2019]
_____. (2018b). Kemiskinan dan Ketimpangan. [Online] Available on : https://www.bps.go.id/subject/23/kemiskinan-dan-ketimpangan.html. [Accessed : 11 Mei 2019]
_____. (2018c). Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin. [Online] Available on : https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/08/15%2014:14:39.940779/1566/-ipg-rata-rata-lama-sekolah-rls-menurut-provinsi-dan-jenis-kelamin-2010-2017.html. [Accessed : 11 Mei 2019]
Gumiwang, Ringkang. (2018). Jokowi, Trans Papua, dan Ambisi Menunaikan Janji. [Online] Available on : https://tirto.id/jokowi-trans-papua-dan-ambisi-menunaikan-janji-da9h. [Accessed : 14 Mei 2019]
KemenPUPR RI. (2016). Indeks Daya Saing Infrastruktur PUPR 2010-2016. [Online] Available on : http://bpiw.pu.go.id/product/download_attachments?file=INDEKS%20DAYA%20SAING%20INFRASTRUKTUR%20PUPR.pdf. [Accessed : 10 Mei 2019]
Ruhyanto, Arie. (2018). Melacak Penyebab Kebijakan Infrastruktur Presiden Jokowi Gagal Rebut Hati Orang Papua. [Online] Available on : https://www.vice.com/id_id/article/pa5x3k/melacak-penyebab-kebijakan-infrastruktur-presiden-jokowi-gagal-rebut-hati-orang-papua. [Accessed : 14 Mei 2019]